Menyambut Hardiknas 2023 Dan Bulan Pendidikan Sulawesi Selatan KEBINEKAAN GLOBAL dan AKULTURASI BUDAYA
Oleh: Syarifuddin Munier; Guru SMA Negeri 20 Gowa, Ketua PGRI Cabang Khusus SMA/SMK Cabang Dinas Wilayah 2 Gowa
Indonesia adalah salah satu Negara yang memiliki tingkat keberagaman yang cukup tinggi mulai dari wilayah yang terdiri dari kepulauan, agama, suku, bahasa, dan ras. Selain itu Indonesia juga adalah Negara yang indah, penuh dengan berbagai kekayaan alam yang senantiasa menjadikan Negara kita dikenal sebagai “zamrud khatulistiwa” di mata dunia. Nah, kekayaan alam inilah yang menyebabkan Negara-negara lain selalu berkeinginan untuk “memiliki” Indonesia sejak dahulu. Sejak zaman kerajaan, bangsa kita menjadi incaran Negara-negara kapitalis yang ingin menguasai. Itulah sebabnya sehingga Negara kita pernah mengalami masa penjajahan selama ratusan tahun (dalam perhitungan sejarah). Para penjajah bahkan telah melakukan invasi militer besar-besaran untuk segera dapat menguasai. Mereka senantiasa ingin memecah belah agar Negara kita tidak memiliki kekuatan sehingga mudah untuk diambil alih.
Namun, pada tahun 1928, dengan semangat “Bhinneka Tunggal Ika” para pemuda dari seluruh pelosok bangsa telah mendeklarasikan “Sumpah Pemuda” yang terdiri dari pengakuan dan ikrar Tumpah Darah Satu Tanah Air Indonesia, Berbangsa Satu Bangsa Indonesia, Berbahasa Satu Bahasa Indonesia. Janji inilah yang terpatri dalam jiwa para pahlawan sehingga mereka bersedia mengorbankan jiwa dan raganya untuk mempertahankan bangsa ini. Dan pada tahun tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan diproklamasikan. Untuk memperoleh kemerdekaan ini bukanlah hal yang mudah, tetapi ribuan laskar dan pahlawan telah membayarnya dengan darah.
Apakah dengan telah diraihnya kemerdekaan kemudian persoalan bangsa ini telah selesai? Justru mengisi dan mempertahankan kemerdekaan ini jauh lebih berat. Kita tidak lagi berhadapan dengan para penjajah, kita berhadapan dengan bangsa kita sendiri. Memang para penjajah telah angkat kaki dari bangsa ini, tetapi jangan lupa bahwa mereka meninggalkan jejak dalam bentuk “pola pikir” yang jauh lebih berbahaya. Jangan dianggap bahwa “pengkhianat” itu hanya ada dalam masa perjuangan meraih kemerdekaan, tetapi mereka masih selalu ada dengan kepentingannya sendiri. Tidak sedikit oknum yang sering memanfaatkan kesempatan untuk menggerogoti kemerdekaan yang telah diraih. Teriakan Takbir Bung Tomo pun ditiru-tiru dan dijadikan kedok untuk mengelabui orang banyak agar ikut dengannya. Padahal dalam niat dan rencananya tersimpan keburukan (makar) yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa yang telah diproklamirkan.
Berhadapan dengan kondisi seperti ini maka salah satu pilar yang penting untuk dipahamkan kepada para pelajar sebagai generasi penerus agar tetap mampu mempertahankan jati diri bangsa adalah konsep berkebinekaan global dari PROFIL PELAJAR PANCASILA. Bahwa saat ini, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi dari berbagai belahan bumi yang beraneka ragam dalam sekejap dapat diperoleh para pelajar dari gadget di tangannya. Berbagai gaya hidup dan budaya akan segera mereka saksikan. Maka, mereka harus mampu memilih dan memilah gaya hidup dan budaya seperti apa yang boleh dan pantas untuk dikonsumsi. Para justru harus mampu menjadikan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sebagai sebagai “power and strong” untuk mempersiapkan diri menjadi generasi emas, generasi yang kuat dalam menghadapi setiap perubahan. Fasilitas teknologi informasi akan menjadi alat untuk memudahkan mereka mengikuti segala proses dalam perjalanannya untuk meraih cita-cita.
Tugas kita adalah menanamkan elemen-elemen kunci dari karakter Berkebinekaan Global yang terdiri dari; 1) mengenal dan menghargai budaya; 2) kemampuan komunikasi interkultural dalam berinteraksi dengan sesama; dan 3) refleksi dan tanggung jawab terhadap pengalaman kebinekaan. Ketiga elemen kunci ini adalah kompetensi yang harus segera dipahami oleh para peserta didik sebagai bagian besar dari generasi muda bangsa saat ini.
Oleh karena itu, kepada generasi bangsa dan para peserta didik harus memiliki kemampuan komunikasi antar budaya (intercultural communication) dalam berinteraksi. Mereka tidak serta merta menerima dan mencontek budaya asing ke dalam perilakunya, tetapi menggunakan pemikiran logis yang sistematis. Agar dapat memahami hal tersebut maka langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah;
- Mengenali keberagaman budaya
Di negeri kita saja tidak terhitung berapa banyaknya kebiasaan, tradisi, adat istiadat yang masing-masing dimiliki oleh berbagai daerah dengan nilai-nilai tertentu yang terkandung di dalamnya. Penting dikenali bahwa setiap suku memiliki kebiasannya sendiri dan memiliki ciri khas dalam praktiknya supaya jika kita berada dalam lingkungan adat dan tradisi tersebut maka kita tidak keliru dalam mengambil sikap dan melakukan interaksi. Demikian juga dengan budaya dan tradisi dari Negara-negara yang ada di dunia, tentu memiliki keberagaman yang jauh lebih tinggi lagi.
Maka perkenalkan dan ajarkanlah sebanyak mungkin berbagai budaya dan tradisi kepada anak-anak kita. Jika ada yang dapat dicontohkan dalam tindakan dan perilaku kita sebagai orang tua, guru ataupun masyarakat, maka teladankanlah sehingga anak-anak kita semakin yakin dengan budaya dan tradisi yang sedang dipelajari dan ingin dikenalnya. Simpati dan empati adalah karakter yang harus tumbuh dan terbangun pada diri para peserta didik kita. Ini menjadi tugas dan tanggung jawab dalam memberikan bekal dan persiapan generasi bangsa menghadapi era globalisasi budaya yang pengaruhnya semakin dahsyat melanda negeri sejuta impian ini.
- Mengidentifikasi budaya
Peserta didik kita juga harus mampu melakukan identifikasi terhadap budaya dan tradisi-tradisi yang baru dikenalnya. Mereka harus mampu melihat dengan jeli budaya dan tradisi mana yang sesuai dengan norma dan etika serta nilai-nilai luhur bangsa. Mengidentifikasi tidak hanya sekedar mengenali, tetapi sudah harus mampu memilih dan memilah untuk membedakan mana yang sesuai mana yang tidak.
Kebiasaan “attabe” dalam suku Makassar, yakni membungkukkan badan sambil mengulurkan tangan lurus kearah lantai adalah “adab”. Sikap sopan santun ketika berlalu di depan seseorang tanpa melihat siapa dan atau umurnya. Dalam perkembangannya kemudian melalui gadget ketika menulis pesan, sudah mulai digunakan sebagai pembuka kata dengan menuliskan kata “tabe”. Ini adalah pemanfaatan yang sangat positif dan menunjukkan bahwa tata krama dan sopan santun tidak boleh pupus oleh cara komunikasi melalui alat-alat yang canggih.
- Melakukan adaptasi
Setelah mengenal dan melakukan identifikasi terhadap budaya dan keberagaman tradisi, maka tindakan selanjutnya adalah melakukan adaptasi (penyesuaian). Secara umum, adaptasi diartikan sebagai penyesuaian terhadap lingkungan di mana suatu individu atau organisme berada. Proses adaptasi budaya juga dapat terjadi pula pada nilai-nilai, norma-norma dalam sebuah kelompok tertentu terhadap kelompok lain. Adaptasi budaya dapat memiliki pengaruh yang besar dan memasuki dunia ekonomi, sosial politik, dan bahkan nilai nasionalisme dalam masyarakat bangsa kita. Oleh karena itu peserta didik sebagai generasi muda memang benar-benar perlu diberi “vaksin” agar memiliki “imunitas” terhadap pengaruh-pengaruh budaya dan tradisi yang tidak sesuai dengan nilai budaya bangsa.
Dengan adanya langkah-langkah antisipasi tersebut diharapkan para peserta didik kita mampu menghambat laju pengaruh teknologi informasi dan globalisasi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya luhur kepribadian dan jati diri sebagai bangsa. Mereka dapat memiliki kekuatan agar dapat menjaga dan membentengi diri dari tekanan budaya, tradisi dan peradaban yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap negara. Kita harus tetap yakin bahwa generasi muda adalah kekuatan bangsa yang sangat dahsyat untuk dapat mempertahankan kelestarian nilai luhur dan kepribadian bangsa dan mereka adalah para peserta didik yang saat ini mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah-sekolah.
- Melakukan adopsi
Sejarah mencatat bahwa Indonesia termasuk Negara yang telah melakukan interaksi antar budaya dalam waktu yang sudah cukup lama. Akibatnya adalah terjadinya interaksi dan komunikasi antar budaya yang sangat dekat hingga telah sampai pada terjadinya pembauran. Dalam kondisi keberagaman seperti ini masyarakat kita diperhadapkan pada situasi di mana mereka harus menentukan pilihan untuk menjadikan budaya dan tradisi yang baru masuk ke dalam budaya dan tradisinya.
Adanya Bulan pendidikan di Sulawesi Selatan merupakan gagasan yang luarbiasa karena memberi ruang dan waktu lebih banyak kepada kita dan semua kalangan untuk mencoba melakukan “napak tilas” terhadap sejauh mana sudah pengabdian kita kepada pendidikan. bulan Pendidikan memberikan waktu untuk menjawab apa yang telah dilakukan, apa yang sedang dilakukan, dan apa yang akan dilakukan untuk penataan pendidikan di masa depan. Yang harus dipahami adalah bahwa pendidikan adalah keteladanan dan harus benar-benar mampu menanamkan “nilai” sehingga generasi kita mampu membedakan yang mana titah dan yang mana tabu.Oleh karena itu, memang menjadi satu perkara yang sangat penting jika Anda harus menyampaikan kepada para peserta didik tentang bagaimana mereka tetap berpegang teguh pada nilai-nilai religius dalam mengenal, mengidentifikasi, dan apalagi telah memutuskan untuk mengadopsi suatu budaya yang baru. Dengan nilai religius yang mendalam saya yakin bahwa peserta didik kita yang merupakan bagian besar dari generasi muda akan selektif dalam mengadopsi budaya-budaya, tradisi dan nilai-nilai yang baru untuk tetap menjaga dan mempertahankan nilai-nilai luhur kepribadian bangsa kita.