MEMAKNAI MAAF DAN MEMAAFKAN: Menyembuhkan Luka, Membuka Cinta

Oleh: Sudarmin Tandi Pora’ (Pendidik di SMK Negeri 1 Tana Toraja)
Kehidupan yang hidup sejatinya penuh dinamika. Proses menjalani hari dan melaluinya bagi tiap orang adalah seni bertahan hidup yang lengkap dengan privilege dan value masing masing.
Dalam interaksi sosial dari circle terkecil hingga terbesar, tentu akan ada stimulan yang memicu perbedaan pendapat. Mengubah sikap dan pola bahasa yang kadang tidak sefrekuensi dengan orang lain. Melahirkan pertengkaran bisa saja berawal dari ketidak sukaan , iri dan cemburu, sindiran, sarkasme hingga adu mulut bahkan fisik yang juga kadang tak bisa terhindarkan. Hal ini kemudian melahirkan rasa kecewa, sakit, terluka, rasa terhianati bahkan membangkitkan amarah yang dibalut dendam.
Setelahnya, akan ada luka yang tak tampak di kulit, tetapi menetap lama di hati. Ada amarah yang tak bersuara, tetapi menguras seluruh energi jiwa. Di antara keduanya, berdirilah satu kata yang sering kita ucap namun sulit kita hayati: maaf.
Maaf adalah sebuah kata simple. Untuk mengucapkannya tidak butuh waktu yang lama. Namun maaf bukan sekadar ungkapan sopan atau formalitas basa-basi. Ia adalah jembatan yang menghubungkan hati yang hancur dengan kedamaian yang ditunggu. Ia adalah bahasa kasih yang mampu menyembuhkan luka yang bahkan waktu pun sulit obati.
Maaf: Keberanian Mengakui Diri
Bagi beberapa orang ego dan keAkuan akan menganggap kata ini tabu. Perasaan selalu benar akan mendomninasi pikiran dan jiwanya sehingga sedikitpun tak terlintas pada satu kata itu. Seringkali kita merasa meminta maaf adalah tanda kelemahan. Merasa bahwa mengucapkannya menandakan kekalahan. Menganggapnya lebih rendah diabnding ornag lain. Padahal, justru di situlah letak kekuatan sejati manusia. Mengakui kesalahan dan bersedia meminta maaf adalah bentuk kematangan emosional dan keluhuran akhlak.
Dalam Islam, Nabi Muhammad ﷺ memberi teladan luar biasa: beliau meminta maaf bahkan kepada orang yang menyakitinya, bukan karena salah, tetapi karena cinta dan kasih sayang terhadap sesama.
Meminta maaf bukan soal benar atau salah, tapi tentang menyelamatkan hati. Ia ibarat obat yang pahit ditelan, tapi menyembuhkan. Bahkan, maaf yang tulus bisa menjadi awal dari hubungan yang lebih kokoh dan penuh kepercayaan.
Memaafkan: Anugerah untuk Diri Sendiri
Memaafkan adalah melepaskan diri dari belenggu amarah. Dan ini tidak mudah. Butuh hati yang lapang untuk mampu menjalaninya. Saat kita memaafkan, kita bukan sedang melupakan peristiwa pahit, tapi kita memilih untuk tidak membiarkan masa lalu menguasai hari ini dan esok. Memaafkan bukan hadiah untuk orang yang menyakiti kita, tapi hadiah untuk diri sendiri.
Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan:
“… dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?”
(QS. An-Nur: 22)
Ayat ini mengingatkan kita, bahwa sejatinya memaafkan adalah salah satu jalan agar kita juga layak mendapat ampunan dari Allah. Dan ini adalah janji yang akan menjadi hadiah terbesar untuk kita. Dibalik luka, kecewa, sakit serta rasa dihianti, Allah menjanjikan ampunan lewat jalur memaafkan. Bukankah ini buah yang manis dari kebesaran hati.
Luka Tak Hilang Seketika, Tapi Bisa Diredakan
Tentu memaafkan tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada luka, ada kecewa, ada trauma. Tapi saat kita memilih memaafkan, kita sedang memberi ruang pada hati untuk pulih. Tidak harus langsung akrab kembali, tidak harus menjalin seperti dulu, tetapi cukup tidak lagi membiarkan luka itu menguasai diri.
Maaf bukan berarti kita membenarkan kesalahan, tapi kita memilih berdamai agar tidak terus membawa racun dalam jiwa. Memaafkan bukan melupakan, tetapi membebaskan hati dari balas dendam.
Mengajarkan Maaf Sejak Dini
Dalam dunia pendidikan dan keluarga, memaknai maaf perlu ditanamkan sejak dini. Anak-anak perlu belajar bahwa mengatakan “maaf” adalah tanda keberanian, dan menerima maaf adalah wujud kebesaran hati. Lingkungan yang menghidupkan budaya saling memaafkan akan melahirkan generasi yang lebih peka, lebih damai, dan lebih dewasa secara emosi.
Guru dan orang tua tidak hanya cukup memerintah, tetapi harus menjadi teladan. Ketika orang dewasa mampu mengakui kesalahan dan minta maaf pada anak atau murid, maka nilai maaf menjadi nyata dan membumi, bukan sekadar teori dalam pelajaran moral.
Maaf Itu Cahaya
Dalam perjalanan hidup ini, kita pasti akan menyakiti dan disakiti. Maka kita harus belajar dua hal sekaligus: meminta maaf dengan tulus, dan memberi maaf dengan ikhlas. Karena sesungguhnya, hidup yang indah bukan hidup yang tanpa luka, tapi hidup yang mampu menyembuhkan diri dengan cinta, dengan doa, dan dengan maaf. Maaf itu cahaya. Dan dalam cahaya itulah, hati-hati yang gelap bisa menemukan jalan pulang menuju kedamaian.#
https://shorturl.fm/ozcYU