Catatan Akhir Tahun dari Ruang Kelas

Sudarmin Tandi Pora’(Pendidik di MTsN 1 Tana Toraja)
Akhir tahun selalu menghadirkan jeda, ruang sunyi bagi seorang guru untuk menoleh ke belakang, menimbang langkah yang telah dilalui, dan merenungkan makna dari setiap peluh yang jatuh di ruang kelas. Tahun 2024 menorehkan catatan penting dalam perjalanan pendidikan Indonesia. Ia bukan sekadar tahun berjalannya kurikulum, pergantian kebijakan, atau deretan program baru. Lebih dari itu, 2024 menjadi tahun refleksi. Saat dunia pendidikan diuji, dikritik, sekaligus ditantang untuk tumbuh lebih dewasa.Ia tidak hanya mencatat kalender akademik, tetapi juga menyimpan fragmen-fragmen emosi, pergulatan batin, dan harapan yang kerap tak sempat diucapkan.
Menjadi guru hari ini berarti menjalani peran yang berlapis. Di satu sisi, guru adalah pendidik yang dituntut profesional, adaptif terhadap kurikulum, teknologi, dan pendekatan pembelajaran baru. Di sisi lain, guru adalah manusia biasa dengan persoalan keluarga, keterbatasan energi, dan beban hidup yang tidak selalu ringan. Tidak jarang, peran itu semakin kompleks ketika tugas tambahan hadir: sebagai wali kelas, koordinator program, pengelola administrasi, hingga penggerak kebijakan di tingkat satuan pendidikan
Sepanjang 2024, dunia pendidikan Indonesia bergerak dinamis. Gagasan pembelajaran mendalam (deep learning) yang digaungkan pemerintah memberi arah baru: belajar tidak lagi sekadar mengejar capaian kognitif, tetapi membangun pemahaman, refleksi, dan karakter. Pendidikan diharapkan tidak lagi dangkal dan serba cepat, tetapi lebih dalam, manusiawi, dan relevan. Namun, di ruang kelas nyata, idealitas itu sering kali berhadapan dengan realitas kelas besar, keterbatasan waktu, tuntutan administrasi, serta ekspektasi publik yang kian tinggi.
Tahun ini pula, guru kembali diuji oleh berbagai peristiwa yang menyita perhatian publik. Kasus-kasus yang melibatkan guru baik dalam konteks disiplin, relasi dengan peserta didik, maupun miskomunikasi dengan orang tua yang sering kali viral sebelum tuntas dipahami. Media sosial menjelma ruang penghakiman instan, sementara suara guru kerap tertinggal di belakang narasi. Di titik ini, profesi guru tidak hanya mengajar, tetapi juga bertahan. Di era digital, satu peristiwa di kelas dapat dengan cepat menjadi konsumsi publik, sering kali tanpa ruang klarifikasi yang adil.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar: sejauh mana pendidikan kita telah benar-benar berakar pada nilai empati, dialog, dan keadilan? Guru yang seharusnya dilindungi sebagai pendidik professional tidak jarang berada pada posisi serba salah. Di satu sisi dituntut mendidik karakter, di sisi lain berhadapan dengan regulasi, ekspektasi publik, dan sorotan media sosial yang tak kenal kompromi.
Di tengah situasi tersebut, muncul kelelahan yang jarang dibicarakan: kelelahan emosional. Guru dituntut tetap sabar ketika lelah, tetap empatik ketika terluka, dan tetap profesional ketika ruang personalnya tergerus. Namun, justru dari situ lahir ketangguhan yang sunyi. Ketangguhan untuk tetap hadir di kelas, menyapa murid dengan senyum, dan mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan di tengah tekanan sistemik.
Kondisi ini mengajarkan satu hal penting: pendidikan tidak bisa disangga oleh kebijakan semata. Ia hidup dari relasi. Deep learning hanya akan bermakna jika guru diberi ruang untuk menjadi manusia yang utuh didengar, dilindungi, dan dihargai. Sebab pembelajaran yang mendalam lahir dari pendidik yang memiliki ketenangan batin dan kejelasan peran.
Pemerintah pada dasarnya tidak tinggal diam. Telah hadir berbagai itikad kuat untuk terus memperbaiki ekosistem pendidikan. Penguatan literasi dan numerasi, digitalisasi sekolah, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan berkelanjutan, serta pengarusutamaan pendidikan karakter, moderasi beragama, dan sekolah ramah anak menjadi bagian dari upaya besar membangun pendidikan yang utuh. Regulasi dan program terus disempurnakan agar pendidikan tidak hanya mencetak lulusan cerdas, tetapi juga manusia yang beradab. Bahkan menghadirkan regulasi yang diharapkan mampu melindungi hak hak seorang guru dimata masyrakat dan hukum sebagai upaya preventif.
Meski demikian, refleksi akhir tahun menuntut kejujuran kolektif. Tantangan kesenjangan pendidikan antarwilayah, beban administratif guru, serta kesiapan satuan pendidikan dalam menerapkan deep learning secara substantif masih menjadi pekerjaan rumah. Pembelajaran mendalam tidak akan lahir dari tumpukan dokumen, tetapi dari relasi yang sehat antara guru, siswa, dan lingkungan belajar.
Akhirnya, dari ruang kelas Indonesia, catatan ini ditulis bukan sebagai keluhan, melainkan sebagai kesaksian. Bahwa di balik papan tulis, RPP, dan laporan kinerja, ada manusia yang terus belajar. Bertumbuh dalam kesabaran, keikhlasan, dan makna pengabdian. Dan semoga, di tahun-tahun mendatang, pendidikan kita berkembang bukan hanya lebih maju, tetapi juga lebih manusiawi.
Tahun 2024 kita tutup dengan satu kesadaran penting: pendidikan tidak boleh kehilangan nurani. Di tengah perubahan zaman, derasnya teknologi, dan tuntutan global, pendidikan harus tetap berpijak pada kemanusiaan. Sebab hanya dengan belajar lebih dalam,bukan sekadar lebih cepat maka kita dapat menyiapkan generasi yang kuat, bijak, dan berkarakter serta siap menjaga masa depan bangsa.#



