PGRI Sulsel Apresiasi Esther Paudang, Guru Inovatif Membangun Pendidikan di Daerah Terpencil SMP Negeri 1 Sanggalangi Satu Atap Luwu

Makassar. Sosok Esther Paudang, S.Pd, Kepala SMP Negeri 1 Sanggalangi Satu Atap, menjadi salah satu peserta yang memukau dan menarik perhatian dewan juri pada ajang final Anugerah Guru Prima (AGP) PGRI Sulsel 2025 digelar di BBGTK Makassar, Senin 3 Nopember 2025.
Dia memapakrkan karya ilmiah inovasi bertajuk “Kepemimpinan, Inovasi dan Menumbuhkan Jiwa Pembelajaran di Era Digital Daerah Sangat Terpencil,” Esther menghadirkan kisah nyata perjuangan dan kepemimpinan pendidikan dari pelosok Kabupaten Luwu.
Wilayah itu bukan sekadar terpencil, melainkan berada di antara jurang, hutan, dan jalan bebatuan yang memisahkan sekolah dari pusat kota terdekat sejauh 36 kilometer.
Perjalanan ke sana memerlukan waktu sekitar dua jam, bukan dengan mobil pribadi, melainkan dengan apa yang ia sebut sebagai “ojek profesional.”
“Disebut profesional karena hanya orang tertentu yang mampu mengendarai motor di medan seperti itu,” ucap Esther sambil tersenyum mengenang perjuangannya.
“Kadang saya harus turun dan berjalan kaki di tanjakan licin. Jantung berdegup kencang setiap kali roda motor tergelincir di bebatuan.”, tegasnya.
Kisah perjuangan fisik itu hanyalah satu sisi dari keteguhan hatinya. Sejak ditugaskan sebagai kepala sekolah pada tahun 2015, Esther menjadi satu-satunya Pegawai Negeri Sipil di SMPN 1 Sanggalangi Satu Atap kala itu .
Ia merangkap tiga peran sekaligus: kepala sekolah, guru, dan staf tata usaha. Jumlah siswa ketika itu hanya 12 orang, dengan delapan guru honorer yang digaji dari dana sekolah sebesar Rp3 juta per tiga bulan.
“Dana itu kami bagi untuk operasional dan honor. Kadang saya sisihkan sebagian dari gaji pribadi agar guru-guru tetap bisa mengajar,” kisahnya.
Sekolah bahkan belum menerima dana BOS pada tahun pertama karena kendala administrasi dan lokasi yang jauh dari jangkauan.
Dari Medan Terjal Menuju Misi Pendidikan
Suatu ketika, perjalanan menuju sekolah berujung pada kecelakaan. Hujan deras membuat jalanan licin dan motor yang ditumpanginya terpelanting ke sisi jalan. Lengan kanannya cedera cukup parah.
Awalnya ia kira hanya keseleo, namun rasa sakit semakin bertambah hingga akhirnya ia harus dirujuk ke Makassar untuk pengobatan.
Setelah berbulan-bulan pemulihan, ia kembali ke sekolahnya di Maindo — bukan untuk menyerah, tetapi untuk melanjutkan misi pendidikan yang telah ia yakini sebagai panggilan hidup.
“Saya tidak bisa membiarkan anak-anak kehilangan guru hanya karena saya takut jalan,” katanya tegas. “Kalau saya berhenti, berarti saya mengajarkan kepada mereka bahwa kesulitan bisa mengalahkan niat baik.”
Sejak saat itu, Esther mulai berpikir: bagaimana menghadirkan perubahan di sekolah dengan segala keterbatasan? Ia sadar, membangun sekolah di daerah terpencil tidak cukup dengan semangat mengajar, tetapi perlu inovasi yang berpihak pada realitas lokal.
Lahirnya LENTERA DESA
Pada 2023, bersama para guru yang ia sebut sebagai “tim dedikatif,” Esther merumuskan program LENTERA DESA, akronim dari Literasi dan Edukasi Numerasi Terpadu, Eratkan Relasi Anak dengan Ekosistem Alamnya. Program ini menjadi tonggak penting dalam transformasi pendidikan di SMPN 1 Sanggalangi Satu Atap.
Konsepnya sederhana namun visioner: menjadikan alam dan budaya lokal sebagai sumber belajar utama. “Saya ingin siswa melihat buku dan angka bukan sebagai beban, tetapi sebagai alat pembebasan dan pemberdayaan,” ujar Esther.
Tiga pilar utama.
Pertama, “Perpustakaan Alam.” Esther mengubah paradigma bahwa sumber literasi tidak hanya berasal dari buku cetak. Ia mengajak guru dan siswa menulis serta membaca dari lingkungan sekitar: hutan pinus, kebun, sungai, hingga rumah adat di Desa Maindo.
Anak-anak belajar menulis deskripsi dari pengamatan mereka, membuat laporan dari hasil eksplorasi alam, dan membaca dunia sebelum membaca teks.
Bahkan, orang tua dilibatkan dalam kegiatan membaca bersama di luar kelas dengan tema-tema lokal seperti cerita rakyat Luwu.
Kedua, “Numerasi Alam.” Menurut Esther, angka harus punya wujud nyata. Ia mengembangkan proyek pembelajaran hitung lahan dan kebun.
Siswa mempelajari geometri dengan mengukur luas tanah, menghitung keliling kebun, serta menghitung volume air irigasi.
Dalam pelajaran ekonomi, mereka membuat simulasi biaya produksi dan laba rugi hasil panen sayur atau buah. “Numerasi harus keluar dari papan tulis,” katanya. “Anak-anak belajar menghitung sambil menanam.”
Ketiga, “Kemitraan sebagai Kekuatan.” Karena kekurangan tenaga pengajar, Esther menggandeng masyarakat sekitar. Orang tua yang memiliki keahlian bertani, membuat alat musik tradisional, atau berkebun diundang untuk berbagi ilmu di sekolah. “Sekolah tidak bisa berdiri sendiri. Di tempat terpencil, masyarakat adalah laboratorium belajar terbesar,” ujarnya.
Dampak Nyata
Inovasi Lentera Desa membawa dampak luar biasa. Kepercayaan diri siswa meningkat signifikan. Mereka lebih berani berbicara di depan kelas dan terbiasa mempresentasikan hasil observasi mereka.
Jumlah anak putus sekolah menurun drastis. “Sebelumnya banyak yang enggan lanjut belajar karena menganggap sekolah tidak berguna untuk kehidupan mereka. Sekarang mereka melihat sendiri manfaat ilmu di sekitar mereka, ungkap Esther dengan bangga.
Siswa pun mulai berpikir kritis dan mampu mengaitkan teori dengan kenyataan. Mereka bisa membaca laporan cuaca, memahami potensi gagal panen, hingga memprediksi tanah longsor di sekitar permukiman. “Itu jauh lebih berharga dari nilai ujian semata,” tambahnya.
Komunitas Guru yang Belajar
Sebagai pemimpin, Esther juga sadar bahwa guru adalah kunci perubahan. Ia mengajak rekan-rekannya untuk terus belajar, mengikuti pelatihan, dan bergabung dalam berbagai program pemerintah. Hasilnya nyata — dua guru dari sekolahnya lolos menjadi Guru Penggerak, bahkan salah satunya kini menjadi Pengajar Praktik.
“Kalau kepala sekolah tidak belajar, guru akan berhenti bergerak. Dan kalau guru berhenti, anak-anak kehilangan masa depan,” ujarnya dengan penuh keyakinan.
Ia juga menciptakan program Gerakan Mentor Siswa, di mana siswa kelas 9 membimbing adik kelasnya dalam pelajaran atau keterampilan tertentu. Program ini melatih kepemimpinan siswa sekaligus menumbuhkan solidaritas dan budaya saling membantu.
Teknologi dan Era Digital
Meskipun berada di daerah yang sulit sinyal dan minim perangkat digital, Esther tidak menutup mata terhadap perkembangan teknologi. Ia memimpin sekolahnya untuk beradaptasi secara bertahap, memanfaatkan gawai seadanya untuk pembelajaran daring terbatas dan pengelolaan administrasi sekolah.
“Digitalisasi di daerah terpencil bukan berarti harus serba modern, tapi bagaimana teknologi bisa menjadi jembatan untuk membuka jendela dunia bagi siswa,” jelasnya.
Kepemimpinan Menginspirasi
Kini, setelah hampir satu dekade mengabdi di kaki pegunungan Luwu, Esther melihat hasil perjuangannya mulai tampak. Sekolahnya mungkin belum memiliki gedung megah, tapi ia punya sesuatu yang jauh lebih bernilai: komunitas belajar yang kuat, guru yang bersemangat, dan siswa dengan mata penuh harapan.
“Setiap pagi saat menapaki jalan berbatu menuju sekolah, saya selalu berkata pada diri sendiri, pendidikan sejati bukan tentang fasilitas, tapi tentang keberanian untuk tidak menyerah,” tutur Esther menutup kisahnya. Dari balik tebing dan kabut di pelosok Maindo, cahaya kecil bernama Lentera Desa terus menyala. Ia menjadi simbol bahwa di tangan seorang pemimpin yang tulus dan inovatif, bahkan sekolah paling terpencil pun bisa menjadi mercusuar pendidikan Indonesia.#yamus
				
					


