Inspirasi

Mendidik dengan Hati di Zaman yang Bising dan Krisis Empati

Oleh: Sudarmin Tandi Pora’/Pendidik di MTsN 1 Tana Toraja

Di tengah hiruk-pikuk perubahan zaman yang melaju tanpa menoleh ke belakang, profesi guru tetap berdiri sebagai salah satu benteng terakhir peradaban. Di ruang-ruang kelas yang mungkin tampak sederhana dari luar, guru memikul tanggung jawab besar: mengajar pengetahuan, membentuk karakter, menanamkan disiplin, sekaligus menjadi sandaran emosional bagi generasi yang tumbuh dalam situasi sosial yang kian kompleks. Bukan sekadar menyampaikan materi, guru hari ini menghadapi anak-anak yang bergulat dengan krisis empati, tekanan sosial, gempuran digital, dan perubahan perilaku yang tak lagi sama dengan satu dekade lalu.

Namun di balik segala tantangan itu, guru terus hadir—dengan hati.

Mengajar di Dunia yang Berubah Terlalu Cepat

Perubahan kurikulum yang berulang, kebijakan yang berganti, hingga tumpukan administrasi yang tidak jarang terasa lebih tinggi daripada semangat pagi—semua menjadi bagian dari realitas yang tak terelakkan. Guru bukanlah penolak perubahan; justru gurulah yang paling siap beradaptasi. Namun, sering kali perubahan datang terlalu cepat, tanpa jeda bagi mereka untuk bernapas, merenung, atau mengasah kembali instrumen pembelajaran yang diperlukan.

Di tengah dinamika itu, guru tetap diharapkan menjadi figur stabil yang dapat memahami setiap murid, mengisi celah-celah kekosongan karakter, dan memperbaiki pola perilaku. Padahal, di saat yang sama, mereka juga manusia: punya rasa lelah, punya keterbatasan waktu, punya keluarga yang menunggu di rumah, dan tentu saja punya ruang batin yang kadang ikut tergores.

Tetapi di ruang kelas, semua itu terbungkus rapi. Yang terlihat adalah senyum yang dihadirkan demi menjaga semangat belajar anak-anak.

Disiplin yang Lembut, Tegas yang Manusiawi

Salah satu dilema besar guru hari ini adalah bagaimana menegakkan disiplin di era yang memuja kebebasan, namun sering kali melupakan tanggung jawab. Di tengah budaya digital yang serba instan, kesabaran mudah tergerus. Empati menjadi barang langka. Sementara itu, guru dituntut untuk tetap membangun karakter dengan cara yang lembut namun tegas.

Menghadapi murid yang membawa beban sosial dari rumah, tekanan pergaulan, hingga pengaruh media sosial yang tak terbendung, guru harus melakukan pendekatan yang jauh lebih halus dibanding masa-masa sebelumnya. Setiap nasihat harus dipilih dengan hati-hati agar tidak disalahpahami. Setiap teguran harus dibalut kehangatan agar tidak dianggap menyakiti. Setiap tindakan harus melalui pertimbangan matang agar tetap sesuai dengan prinsip sekolah ramah anak.

Di sinilah pergulatan batin itu terjadi. Guru ingin menjaga nilai-nilai, tetapi juga ingin menjaga hubungan. Guru ingin menanamkan disiplin, tetapi juga tak mau melukai. Guru ingin menjadi teladan, tetapi juga ingin diakui sebagai manusia yang bisa salah dan bisa letih.

Dunia yang Kadang Kurang Mengerti

Tidak bisa dipungkiri, banyak guru hari ini bekerja di tengah lingkungan sosial yang kadang kurang memahami kompleksitas tugas mereka. Ada suara-suara yang cepat menilai tanpa melihat konteks. Ada stigma yang kerap muncul tanpa memahami bahwa setiap guru menghadapi puluhan karakter berbeda setiap hari dan berusaha menyeimbangkan semuanya dengan hati-hati.

Namun, patut pula diakui bahwa masih banyak pihak yang terus memberikan harapan: orang tua yang terbuka untuk bekerja sama, masyarakat yang menghargai proses, kepala sekolah yang memahami ritme kerja guru, pemerintah daerah yang berupaya menghadirkan pelatihan berkualitas, serta komunitas yang tetap percaya bahwa pendidikan adalah jalan panjang yang harus diperjuangkan bersama.

Artikel ini bukanlah keluhan, melainkan refleksi—sekaligus undangan untuk saling memahami.

Mengembalikan Waktu Guru untuk Mengajar

Salah satu harapan terbesar para guru adalah penyederhanaan beban administrasi. Bukan karena mereka tidak mau mencatat, melapor, atau merencanakan. Namun karena terlalu banyaknya dokumen membuat waktu untuk mengajar, membimbing, dan berinteraksi dengan siswa berkurang secara signifikan.

Guru ingin fokus mendidik, bukan tenggelam dalam laporan yang terkadang dibuat lebih untuk memenuhi format daripada kebutuhan pembelajaran. Guru berharap kebijakan pendidikan memberi ruang bernapas, ruang untuk berpikir kreatif, dan ruang untuk berinovasi tanpa rasa diburu oleh sistem yang terlalu teknis.

Kurikulum semestinya menjadi panduan, bukan beban. Administrasi semestinya mendukung proses belajar, bukan menghabiskan energi sebelum guru masuk kelas.

Untuk Semua yang Masih Percaya pada Guru

Di Hari Guru ini, ada harapan yang ingin disampaikan secara sederhana: mari kembali menaruh kepercayaan kepada guru. Karena sebesar apa pun teknologi, secanggih apa pun aplikasi, tidak ada yang bisa menggantikan kehangatan hati seorang pendidik.

Guru bukanlah pahlawan tanpa cela, tetapi mereka adalah pilar yang terus menjaga agar generasi masa depan tidak kehilangan arah. Mereka bekerja dalam sunyi, tetapi dampaknya bergema panjang.

Mendidik di zaman yang bising dan penuh krisis empati memang tidak mudah. Namun selama masih ada guru yang mengajar dengan hati, masa depan bangsa ini tetap memiliki cahaya.

Dan selama masih ada masyarakat yang memahami bahwa guru pun manusia yang perlu didengarkan, dihargai, dan didukung, maka pendidikan akan selalu menemukan jalannya untuk tumbuh.

Selamat Hari Guru.
Untuk semua guru yang masih bertahan—terima kasih telah mendidik dengan hati.

Facebook Comments
What's Your Reaction?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Tinggalkan Balasan

Back to top button

Adblock Terdeteksi !

Maaf Matikan dulu Adblock anda