Inovasi di Kelas: Kisah Guru yang Berani Beda

Oleh: Dra. Sitti Dahlia Azis (Guru Kebangsaan Nasional 2024, Guru Motivator Literasi 2023, Penggerak Literasi Daerah (PLD) Nasional Kabupeten Pinrang 2025)
Tahun 2018, saya merasa seperti terdakwa di sebuah ‘persidangan’. Tempat duduk diatur sedemikian rupa, dengan saya di tengah, ada rekan guru serta siswa kelas XII berkumpul 2 ruangan sebagai ‘saksi’. Tuduhannya? Saya dianggap melakukan kesalahan karena meminta siswa membuat video simulasi untuk mata pelajaran PPKN pada jam istirahat.

Reaksi yang saya terima saat itu cukup mengejutkan. Alih-alih dukungan, saya justru dibully oleh sebagian rekan guru. Mereka berpendapat bahwa itu salah karena saya bukan guru Bahasa Indonesia atau TIK, metode itu tidak relevan dan tidak seharusnya saya lakukan.
Yang lebih miris, saya sampai dipanggil oleh guru senior dan ‘diadili’ di depan siswa. Tempat duduk diatur sedemikian rupa, layaknya sebuah persidangan. Teman saya itu bahkan ‘mengajari’ siswa untuk bertanya, “Apa gunanya Ibu menyuruh kami membuat video? Apa manfaatnya untuk kami, Bu?”
Dengan sekuat tenaga, saya mencoba menjelaskan manfaat pembelajaran berbasis audio visual dibandingkan metode ceramah yang monoton. Saya berusaha meyakinkan mereka bahwa video dapat membuat materi lebih mudah dipahami, lebih menarik, dan lebih relevan dengan dunia siswa. “Bandingkan jika ibu hanya ceramah sampai jam pelajaran habis, tetapi di lain kesempatan ibu menayangkan video yang relevan dengan materi yang kita bahas. Pilih mana?” ujarku waktu itu yang sedapat mungkin terlihat tenang.

Siswa tidak menanggapi langsung, tetapi saat keluar dari ruang kelas saya dengar siswa yang mendekati keran air saling berbisik “mantap PPKN.”
Namun, rasanya sulit menembus tembok prasangka. Saat itu, saya merasa seperti berjalan sendirian melawan arus. Muncul pertanyaan di benak saya: salahkah saya mencoba berinovasi? Salahkah saya memanfaatkan smartphone yang saat itu sudah menjadi bagian dari kehidupan siswa untuk membuat pembelajaran lebih menarik dan relevan?
Ya, waktu terus berjalan. Kini, di era digital yang semakin maju, saya melihat semakin banyak rekan guru yang memanfaatkan video sebagai media pembelajaran. Saya tidak terlalu ingin tahu detailnya, tapi saya merasa ada semacam validasi atas apa yang dulu saya lakukan.

Pengalaman ini menjadi pelajaran berharga, terutama di era digital ini: mindset guru sebaiknya diisi dengan positive thinking. Boleh saja menolak perubahan, namun alangkah baiknya jika penolakan itu didasari bukti yang kuat bahwa pemanfaatan teknologi digital hanya berdampak negatif. Jika tidak, mungkin kita perlu membuka diri dan melihat potensi yang belum kita sadari.
Sebagai penutup, saya ingin mengajak seluruh rekan guru untuk berani keluar dari zona nyaman dan mencoba hal-hal baru. Jangan takut untuk berinovasi dan memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran. Percayalah, dengan mindset yang positif dan semangat untuk terus belajar, kita bisa menciptakan pendidikan yang lebih baik dan relevan bagi generasi masa depan.
Pesan saya, jangan cepat merasa hebat. Tetaplah mempersiapkan diri untuk belajar dan terus belajar. Rendah hati bukan berarti terinjak, sebab berlian akan tetap dicari walaupun adanya di dasar samudera.
Semoga kisah ini dapat menginspirasi dan memotivasi kita semua untuk terus berinovasi dan memberikan yang terbaik bagi dunia pendidikan.#



