USMAN BIN AFFAN: Sang Pemilik Dua Cahaya

Oleh : Muhammad Sultan (Guru SMAN 5 Bulukumba)
Di padang tandus yang diselimuti debu perjalanan, di tengah hembusan angin yang mengisahkan sejarah para kafilah, lahirlah seorang anak lelaki yang kelak ditakdirkan sebagai pelita bagi umat. Ia adalah Usman bin Affan, seorang pemuda Quraisy dari Bani Umayyah yang sejak kecil telah dibalut kemuliaan dan kelembutan hati.
Usman tumbuh dalam keluarga kaya raya, hartanya melimpah, namun hatinya senantiasa merunduk rendah. Ia dikenal bukan karena kebesaran keluarganya, melainkan karena kelembutannya, kedermawanannya, dan akhlaknya yang bagaikan purnama di tengah gelap malam. Sejak kecil, tutur katanya lembut, hatinya penuh kasih, dan sikapnya mencerminkan kemuliaan.

Di antara pemuda Quraisy, Usman adalah sosok yang dihormati. Wajahnya berseri, matanya jernih, dan hatinya senantiasa terpaut pada kejujuran. Ia seorang pedagang yang sukses, namun dalam setiap dinar yang diperolehnya, terselip rasa syukur dan keinginan berbagi. Ia tahu bahwa harta hanyalah titipan, bukan tujuan.
Lalu datanglah cahaya Islam, mengetuk pintu hatinya yang telah lama merindukan kebenaran. Tanpa ragu, ia bergegas menyambut panggilan Ilahi melalui Rasulullah SAW. Keislamannya menjadi gemuruh bagi keluarga bangsawannya, namun ia tak gentar. Seperti pohon yang akarnya kuat mencengkeram bumi, imannya kokoh meski badai celaan menghantam.
Ia menjadi salah satu sahabat terdekat Rasulullah, seorang lelaki yang Rasul sendiri mengaguminya karena kelembutannya. Dalam sejarah cinta yang abadi, ia dinikahkan dengan Ruqayyah, putri Rasulullah, dan di sanalah ia mendapat gelar Dzun Nurain—Pemilik Dua Cahaya. Setelah Ruqayyah wafat, Rasulullah menikahkannya dengan Ummu Kultsum, putri beliau yang lain.
Hidup Usman adalah untaian keindahan dalam bentuk pengorbanan. Saat kaum Muslimin kekurangan air di Madinah, ia membeli sumur Raumah dari seorang Yahudi dengan harga mahal, lalu ia wakafkan untuk semua orang. Saat Perang Tabuk, ia menyumbangkan 950 ekor unta, 50 kuda, dan seribu dinar, hingga Rasulullah berkata, “Tidak ada yang akan membahayakan Usman setelah hari ini.”
Lalu waktu berlalu, sejarah menuliskan babak baru. Setelah Umar bin Khattab wafat, Usman bin Affan diangkat sebagai Khalifah ketiga. Di bawah kepemimpinannya, Islam terus berkembang. Ia menyatukan mushaf Al-Qur’an agar tak ada perbedaan bacaan, ia memperluas wilayah Islam dengan damai, dan ia tetap menjadi lautan kedermawanan yang tak mengenal surut.
Namun takdir tak selalu ditulis dengan tinta kebahagiaan. Di ujung masa kepemimpinannya, fitnah merayap seperti bayang-bayang yang tak berwujud, menjalar di antara hati manusia. Ia tetap sabar, tak pernah mengangkat pedang untuk melawan saudara seimannya, meski mereka telah mengepung rumahnya.
Di hari yang penuh kesyahidan, ketika dunia masih belum lelah memfitnahnya, ia berpuasa, membaca mushaf yang ia kumpulkan dengan tangannya sendiri. Saat tangannya menelusuri ayat, pedang pengkhianatan menebas tubuhnya. Namun darah yang jatuh itu bukan sekadar merah, melainkan tinta yang menuliskan kesabaran dan pengorbanan seorang khalifah yang memilih damai di atas pertumpahan darah.
Demikianlah Usman bin Affan, lelaki yang wajahnya berseri seperti purnama, yang hatinya lembut bagai samudra, dan yang akhirnya berpulang sebagai syuhada. Namanya tak sekadar tertulis di lembaran sejarah, tetapi terukir dalam doa setiap jiwa yang membaca kisahnya.#