Hakikat Kurban: Di Antara Takdir dan Cinta

Fajar menyibak kabut dengan langkah lirih. Di seberang padang tandus, dua sosok berjalan dalam sunyi yang berat. Seorang ayah dan anak—berpakaian lusuh tapi mata mereka bersinar. Tak ada pelukan. Tak ada tangis. Hanya ketundukan yang terasa membuncah di antara langit dan bumi. Di tangan sang ayah tergenggam tali, dan di matanya ada langit yang menahan hujan.
Mereka adalah Ibrahim dan Ismail. Sebuah kisah yang hidup sepanjang zaman. Tentang perintah yang datang bukan dari manusia, melainkan dari langit. Tentang cinta yang diuji bukan dengan tanya, tetapi dengan kehilangan. Tuhan meminta, bukan untuk mengambil, tetapi untuk melihat: seberapa dalam cinta itu tertanam, dan seberapa lapang hati untuk melepaskan.
Banyak yang mengira kurban adalah tentang darah yang menetes, tentang daging yang dibagikan. Tapi tak banyak yang mengerti, bahwa kurban adalah tentang jiwa yang berserah. Tentang bagaimana seorang hamba sanggup memotong rasa memiliki, demi kehendak Yang Maha Memiliki. Bahwa sejatinya, yang dipersembahkan bukan hewan ternak, tapi keikhlasan—yang tak bisa ditimbang dengan timbangan pasar.

Iduladha bukan sekadar hari raya. Ia adalah panggung perenungan, di mana setiap insan diuji untuk melepaskan apa yang ia genggam erat. Harta, jabatan, gengsi, atau bahkan orang-orang tercinta. Setiap dari kita punya “Ismail” masing-masing—sesuatu yang paling kita cintai namun harus siap dikorbankan saat Tuhan memanggil nama itu dalam ujian.
Kurban juga bukan ritual tahunan yang terjebak pada prosesi. Ia adalah nafas kehidupan. Saat seorang ibu melepas anaknya untuk menuntut ilmu jauh di negeri orang—itu kurban. Saat seorang ayah menahan lapar demi uang sekolah anaknya—itu kurban. Saat seorang guru menulis pelajaran malam-malam demi murid yang belum paham—itu juga kurban. Bahkan saat seorang istri memendam tangis dalam doa agar suaminya diberi keselamatan di jalanan, itu pun bentuk kurban yang tak pernah tercatat dalam catatan kas masjid, tapi terukir abadi di langit.
Hakikat kurban adalah melepaskan, bukan kehilangan. Karena setiap yang kita lepaskan karena Allah, justru kembali dalam bentuk yang lebih indah. Seperti Ibrahim yang tak kehilangan anak, justru mendapat gelar Kekasih Tuhan. Seperti Ismail yang tak kehilangan nyawa, justru mendapat kemuliaan sepanjang masa. Kurban mengajarkan bahwa cinta sejati itu tidak selalu berbentuk memiliki, tetapi merelakan demi ridha Ilahi.
Dalam hidup, setiap hari adalah kurban. Kita menyembelih keinginan pribadi demi cinta yang lebih besar. Kita korbankan waktu tidur untuk tahajud. Kita lepaskan dendam demi kedamaian. Kita buang ego demi hubungan yang lebih utuh. Hidup ini tak akan berarti jika tak ada yang rela kita lepaskan.
Lihatlah matahari. Ia memberi cahaya setiap hari tanpa meminta kembali. Ia terbakar demi menerangi, tapi tak pernah merasa rugi. Karena cinta sejati memang seperti itu: memberi tanpa mengharap, mengorbankan tanpa menagih. Dan itulah kurban. Sebuah cinta yang berani kehilangan demi kedekatan pada Tuhan.
Maka, saat kita menuntun hewan kurban menuju tempat penyembelihan, tuntun pula diri kita menuju perenungan. Apa yang paling kita cintai hari ini? Sudahkah kita siap melepaskannya jika Tuhan meminta? Dan jika belum, mungkin itulah saatnya kita belajar, bahwa hakikat kurban bukan pada sembelihannya, tapi pada hati yang siap bersujud, walau dengan linangan air mata.
Sultan Chemistry
Bulukumba, 5 Juni 2025