Opini

Sekolah Ramah Anak: Menyambut Siswa dengan Cinta, Bukan Cemas

Oleh: Sudarmin Tandi Pora’ – Pendidik di SMK Negeri 1 Tana Toraja

“Hari pertama sekolah bukan soal seragam baru, tetapi tentang hati yang diterima dan diterangi harapan.”
Memulai Tahun Ajaran Baru dengan Hati
Tahun ajaran baru selalu membawa semangat baru dan dinamika baru. Namun bagi sebagian anak, momen ini bisa jadi mengundang cemas. Lingkungan baru, ruang kelas yang asing, guru yang belum dikenal, hingga kekhawatiran tentang apakah ia akan diterima oleh teman-temannya. Di sinilah peran penting sekolah untuk hadir sebagai ruang yang ramah anak diuji. Apakah sekolah hanya menjadi institusi formal dengan jadwal padat, atau rumah kedua yang mampu menyambut setiap anak dengan cinta dan kepedulian?
Istilah “sekolah ramah anak” bukan sekadar jargon atau program seremonial. Ia adalah refleksi dari sistem pendidikan yang menempatkan anak sebagai subjek, bukan objek. Anak dihargai martabatnya, dilindungi haknya, dan didorong potensinya secara menyeluruh. Baik secara fisik, mental, dan sosial hingga spiritual.
Ramah Anak: Bukan Sekadar Tak Ada Kekerasan
Masyarakat kadang mengartikan sekolah ramah anak hanya sebatas bebas dari kekerasan fisik. Padahal, spektrumnya jauh lebih luas. Ramah anak berarti lingkungan sekolah yang bebas dari kekerasan verbal, pelecehan, perundungan, diskriminasi, hingga tekanan akademik yang tidak proporsional.
Dalam praktiknya, sekolah ramah anak menerapkan pendidikan yang partisipatif dan inklusif, membangun relasi yang sehat antara guru dan siswa, serta memberi ruang aman untuk menyampaikan pendapat tanpa takut dihakimi. Guru tidak lagi menjadi sosok otoriter, tetapi pendamping belajar dan pendengar aktif. Sosoknya mampu membimbing dengan empati, bukan mengontrol dengan ancaman.
Hari Pertama: Momentum Membangun Iklim Emosional Positif
Tahun ajaran baru adalah momen krusial membangun school climate yang positif. Sekolah yang baik bukan yang langsung membebani siswa dengan materi pelajaran di hari pertama, melainkan yang menyambut siswa dengan wajah ramah, kegiatan ringan yang menyenangkan, dan interaksi yang membangun rasa percaya diri.
Aktivitas seperti permainan perkenalan, orientasi nilai sekolah, tur fasilitas sekolah, atau sesi berbagi harapan dan ketakutan, bisa menjadi jembatan emosional antara anak dan lingkungan barunya. Siswa yang merasa diterima akan lebih siap belajar dan berpartisipasi secara aktif dalam proses pendidikan.
Guru pun perlu menyadari bahwa setiap anak datang dengan latar belakang berbeda: ada yang antusias, ada yang pemalu, ada pula yang membawa trauma rumah tangga atau kekerasan sosial. Maka, pendekatan pedagogis berbasis empati dan observasi awal menjadi penting. Hal ini selaras dengan semangat differentiated instruction dan assessment as learning yang ditekankan dalam Kurikulum.
Tantangan dan Solusi: Dari Kebijakan ke Budaya Sekolah
Implementasi sekolah ramah anak memang tidak instan. Masih banyak tantangan seperti minimnya pemahaman guru tentang pendekatan non-kekerasan, ketidaksiapan orang tua dalam mendukung peran sekolah, hingga keterbatasan fasilitas yang inklusif. Namun, perubahan tak harus menunggu sempurna. Membangun budaya ramah anak bisa dimulai dari perubahan kecil yang konsisten.
Misalnya:
Guru yang membiasakan menyapa siswa dengan nama dan senyum.
Adanya pojok ekspresi atau pojok baca santai di kelas.
Memberi kesempatan siswa untuk berpendapat dalam pengambilan keputusan kelas.
Menghapus sistem hukuman yang memalukan di depan teman, dan menggantinya dengan pendekatan restoratif.
Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Kementerian Agama atau Kemendikbudristek, telah lama mendorong program Sekolah Ramah Anak (SRA). Namun, yang lebih penting dari sekadar dokumen adalah bagaimana kebijakan itu diinternalisasi menjadi budaya sekolah yang hidup.
Kolaborasi: Anak Butuh Ekosistem yang Mendukung
Sekolah ramah anak tidak bisa dibangun oleh guru saja. Perlu keterlibatan orang tua, tokoh masyarakat, hingga teman sebaya. Orang tua perlu menjadi mitra sejajar, bukan sekadar pengawas nilai. Komite sekolah pun harus diberdayakan sebagai jembatan dialog antara kebutuhan siswa dan kebijakan sekolah.
Begitu pula dengan peran teman sebaya. Sekolah dapat membentuk peer counselor atau duta ramah anak dari kalangan siswa sendiri yang dilatih untuk menjadi sahabat bagi teman-teman yang kesulitan beradaptasi. Pendekatan ini sejalan dengan student agency dalam pembelajaran masa kini.
Sekolah yang Mendidik Hati, Bukan Sekadar Mengisi Otak
Jika pendidikan hanya bicara soal angka dan nilai akademik, maka kita telah kehilangan makna hakiki dari pendidikan itu sendiri. Sekolah ramah anak mengajak kita kembali ke ruh pendidikan yang sejati: mendidik manusia secara utuh, dengan kasih sayang, penghargaan, dan kepercayaan.
Mari kita sambut tahun ajaran baru ini dengan semangat baru: tidak hanya membuka pintu kelas, tetapi juga membuka hati untuk setiap anak. Karena sejatinya, anak tidak akan pernah takut datang ke sekolah yang menyambutnya dengan cinta, bukan dengan cemas.#

Facebook Comments
What's Your Reaction?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Tinggalkan Balasan

Back to top button

Adblock Terdeteksi !

Maaf Matikan dulu Adblock anda