Deep Learning; Menyelam ke Samudera Makna (Bagian Kedua dari tiga tulisan)

Oleh: Syarifuddin Munier (Guru SMAN 20 Gowa/Ketua PGRI Cabang Khusus Gowa)
Ketika kita berbicara tentang pendidikan, sering kali yang terlintas di benak kita adalah angka-angka capaian seperti nilai ujian, peringkat kelas, akreditasi sekolah, dan lain-lain yang terlihat dalam kuantitas. Kita membicarakan pendidikan seolah-olah ia adalah mesin penghasil skor. Kita bangga ketika siswa kita mendapat nilai sempurna, seakan-akan angka itu adalah bukti keberhasilan hakiki. Padahal, di balik angka-angka yang kaku itu, ada sesuatu yang jauh lebih hidup, lebih dalam, dan lebih manusiawi—pembelajaran yang bermakna.
Inilah yang oleh para pendidik modern disebut deep learning (pembelajaran mendalam). Sebuah cara belajar yang tidak berhenti pada menghafal, tetapi menyelam hingga menemukan makna. Ia mengajak peserta didik berpikir, merasakan, dan mengalami ilmu; bukan sekadar menyalin kata demi kata dari buku teks.
Para pendidik penting untuk belajar bagaimana cara mengajar yang menyentuh hati. Bukan hanya memaksakan otak murid untuk mampu beradaptasi dengan seluruh capaian yang diinginkan. Jalaluddin Rahmat dalam salah satu tulisannya mengungkapkan bahwa: “Ilmu yang tidak menyentuh hati hanyalah bunyi kata-kata di udara.” Begitulah banyak dari proses pendidikan kita selama ini mengajarkan kepala tanpa menyentuh hati. Anak-anak dipenuhi konsep, teori, dan rumus, tapi kehilangan rasa ingin tahu dan cinta pada pengetahuan itu sendiri.
Deep learning mencoba mengembalikan makna belajar ke tempat asalnya, ke dalam diri manusia. Ia mengajarkan peserta didik untuk mengaitkan apa yang dipelajari dengan kehidupan. Ketika seorang siswa mempelajari fotosintesis, misalnya, ia tidak hanya menghafal reaksi kimia antara karbon dioksida dan air, tetapi juga merenungi betapa ajaibnya daun yang menjadi pabrik kehidupan. Ia belajar menghargai alam, mensyukuri kehidupan, dan menyadari betapa kecilnya manusia di hadapan kebesaran ciptaan Tuhan. Itulah inti deep learning yang bertujuan untuk mendidik bukan hanya otak-atik otak, tetapi juga hati dan kesadaran. Inilah yang dianut dengan istilah olah pikir, olah hati, olah rasa dan olah raga.
Kita tentu sepakat bahwa pendidikan yang terlaksana itu harus mengakar dan bukan yang melayang seperti awan berarak. Awan yang kelihatan seram tetapi gampang tertiup angin. Kita tidak ingin bangsa ini kehilangan roh yang hanya sibuk mengejar dan bangga dengan hasil tetapi kehilangan makna. Dalam banyak ruang kelas, guru berdiri seperti penyiar berita, menyampaikan informasi tanpa komunikasi. Padahal, dalam pendidikan sejati, guru bukan sekadar penyampai ilmu, melainkan penuntun jiwa.
Deep learning mengajarkan kita untuk berhenti sejenak dari hiruk pikuk kurikulum yang padat, dan bertanya: “Apakah anak-anak kita benar-benar memahami apa yang mereka pelajari? Apakah pelajaran itu membentuk karakter, atau hanya menambah hafalan?
Pendidikan yang melayang di udara hanyalah sekumpulan data tanpa akar. Tapi pendidikan yang mendalam menumbuhkan akar di hati peserta didik. Dalam filisofinya, akar yang kokoh akan mempertahankan sebatang pohon dari terpaan angin dan badai. Seperti itulah pendidikan yang bermakna, ia akan membangun karakter dan jiwa yang memiliki kekuatan untuk teyap tegar dan menahan mereka ketika berhafapan dengan badai kehidupan. Maksudnya, peserta didik akan terbina untuk mencari solusi dari masalah yang dihadapinya, dan bukan hanya memikirkan masalahnya. Kita tidak sedang mempersiapkan generasi untuk menjawab soal ujian, tapi untuk menjawab soal kehidupan.
Ada perbedaan mendasar antara “mengetahui” dan “memahami.” Mengetahui adalah kerja otak yang akan melahirkan urutan angka; sedangkan memahami adalah kerja jiwa yang akan melahirkan kebijaksanaan. Seorang siswa bisa tahu bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, tapi apakah ia memahami bahwa hukum semesta ini adalah tanda kebesaran Sang Pencipta? Ia bisa tahu rumus ekonomi, tapi apakah ia mengerti bahwa di balik angka inflasi ada penderitaan manusia? Inilah yang dikejar oleh deep learning, perubahan dari pengetahuan menjadi pemahaman.
Proses ini tidak bisa terjadi jika pendidikan hanya berpusat pada guru dan buku. Ia menuntut dialog, refleksi, dan keberanian untuk salah. Seorang guru yang menerapkan deep learning lebih banyak bertanya daripada menjawab, lebih banyak mendengarkan daripada menjelaskan. Ia menuntun peserta didik untuk menemukan sendiri makna dari pengalaman mereka. Bukankah begitu pula cara para nabi mengajar umatnya? Dengan pertanyaan, perenungan, dan teladan.
Dalam psikologi pendidikan modern, deep learning dipahami sebagai proses kognitif yang melibatkan pemahaman konseptual, keterkaitan antaride, dan refleksi pribadi. Tapi dalam pandangan spiritual, ia juga merupakan perjalanan ke dalam diri learning from within.
Setiap manusia memiliki samudra pengetahuan di dalam dirinya. Guru yang sejati bukan yang menumpahkan air dari luar, tapi yang membuka sumber air dari dalam diri siswanya.
Guru harus mampu membangkitkan kesadaran, bukan menjejalkan pengetahuan. Kalimat ini mungkin sederhana, tapi ia mengguncang sistem pendidikan kita yang sudah lama berorientasi pada produk, bukan proses.
Ketika siswa diajak memahami makna di balik pelajaran, bukan hanya isi pelajaran itu sendiri, di situlah deep learning lahir. Anak-anak belajar bukan karena disuruh, tapi karena keinginan dan kebutuhan. Mereka bertanya bukan untuk nilai, tapi untuk makna.
Teknologi dan Tantangan Zaman
Di era digital, pengetahuan menjadi barang murah. Satu klik di gawai, ribuan informasi terbuka. Namun, justru dari sinilah krisis pendidikan akan dimulai. Semakin banyak informasi yang tersedia, semakin dangkal cara kita berpikir. Kita tahu banyak hal, tapi memahami sedikit. Kita membaca cepat, tapi merenung lambat. Maka deep learning menjadi perlawanan halus terhadap budaya instan. Ia menuntut kita untuk berhenti, merenung, dan menyelam lebih dalam. Teknologi boleh mempercepat akses, tapi kebijaksanaan tetap memerlukan waktu. Seperti benih yang butuh tanah, air, dan kesabaran untuk tumbuh, begitu pula pembelajaran mendalam memerlukan proses yang pelan tapi bermakna. Dalam sistem pendidikan yang berorientasi pada deep learning, guru bukanlah pusat segalanya, tapi ia tetap fondasi utama. Guru yang sadar makna perannya tidak sekadar mengajar, tetapi membangunkan kesadaran. Ia tidak hanya memberikan materi, tetapi juga menghadirkan inspirasi.
Guru yang demikian memahami bahwa setiap murid adalah “tanah” yang berbeda. Ada yang gembur, ada yang keras, ada yang tandus dan ada yang basah. Tugasnya bukan menyeragamkan, tetapi menumbuhkan. Ia menyiram bukan dengan hafalan, melainkan dengan kasih. Pendidikan yang mendalam hanya mungkin terjadi jika hubungan antara guru dan murid bukan relasi otoritas, tetapi relasi cinta. Karena cinta adalah energi terbesar dalam komunikasi manusia. Maka pendidikan sejati adalah komunikasi yang berlandaskan cinta: cinta pada ilmu, pada kebenaran, dan pada kemanusiaan.
Dalam dunia yang berubah cepat, pengetahuan bisa kadaluarsa, tapi kemampuan belajar tidak. Deep learning menumbuhkan manusia oembelajar yang tidak berhenti belajar, bahkan setelah mendapatkan predikat lulus dalam level gelar apapun. Nabipun masih terus mengharap wahyu walaupun telah diangkat menjadi Rasul. Ini harus menjadi pegangan untuk setiap diri agar belajar terus menjadi kebutuhan hingga akhir hayat.
Inilah yang disebut makna dimana pendidikan harus berhasil membangun pola pikir yang bertumbuh (growth mindset) bagi para peserta didik sehingga mereka akan terus memahami bahwa pembelajaran dari semua proses yang dilewati bukan untuk mencari pekerjaan, akan tetapi untuk mendapatkan hakikat. Mereka tidak hanya ingin sukses, tapi juga berguna. Itulah hasil akhir pendidikan yang mendalam: manusia yang berpikir kritis, berjiwa lembut, dan berkarakter tangguh.
Oleh karena itu, terlepas dari hiruk-pikuk kurikulum dan ujian, mari kita menyelam untuk menemukan diri, bertanya kepada diri sendiri: Apakah kita masih mendidik manusia, atau hanya mencetak pekerja?
Pendidikan sejati bukan sekadar tentang apa yang diingat murid, tetapi apa yang mereka pahami, rasakan, dan hayati. Deep learning adalah perjalanan menyelam ke samudra makna, di mana ilmu tidak hanya dihafal dan dimengerti melainkan harus dipahami dan dimaknai. Sebagaimana lautan yang tidak akan pernah tawar oleh air sungai, demikian pula hati manusia yang terus belajar tidak akan pernah kering dari kebijaksanaan.
Maka, marilah kita kembalikan pendidikan kepada ruhnya—mendidik manusia agar menjadi lebih sadar, lebih bijak, dan lebih berbelas kasih. Sebab pada akhirnya, belajar bukan sekadar mengenal luasnya dunia, tapi juga harus kembali untuk memahami diri.#