Opini

DEEP LEARNING; Mendalamnya di Mana?

(Bagian Pertama dari Tiga Tulisan)

Syarifuddin Munier Daeng Mang’Ewa (Guru SMAN 20 Gowa/Ketua PGRI Cabang Khusus Gowa)

Pembelajaran mendalam (deep learning) saat ini lagi “marak” dalam setiap pembicaraan tentang Pendidikan dan pembelajaran. Sejak “beduk” deep learning ini ditabuh oleh Prof. Dr. Abd. Mu’ti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia, sontak seluruh jamaah di dunia pendidikan ramai-ramai berwudu. Seperti inilah mungkin gambaran pergerakan yang begitu cepat dilakukan bagi mereka yang merasa terpanggil oleh suara ajakan tersebut. Istilah-istilah yang kemarin dipopulerkan oleh Mas Nadiem (Menteri Pendidikan sebelum Prof. Mu’ti) seakan debu yang mulai tertiup angin “deep learning” yang kini lagi berhembus. Berbagai prasangka dan tebakan kemudian bermunculan, sembari suara beduk semakin ditabuh untuk tetap berusaha memperdengarkan suara agar bisa semakin menggema ke pelosok nusantara. Para ahli, praktisi dan pemerhati ikut ambil bagian untuk menabuh dan tak perlu dipertanyakan apakah karena ingin supaya suara beduk terdengar sampai ke pelosok, jamaah paham dan tergerak untuk datang atau hanya sekedar ikut-ikutan menabuh untuk mencari popularitas.

Berbagai strategi sudah langsung diterapkan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dalam upaya menyebarluaskan informasi dan memberi pemahaman kepada seluruh lapisan masyarakat terkait deep learning ini. Termasuk yang menjadi sasaran paling utama adalah seluruh guru yang selalu disebut sebagai “garda terdepan” pelaksanaan sistem Pendidikan yang diterapkan. Sebutan ini adalah fakta karena yang bersentuhan langsung dengan peserta didik adalah para guru di setiap lembaga pendidikan dengan segala suka dan dukanya. Oleh karena itu, guru adalah berada pada posisi yang paling penting untuk untuk lebih jauh memahami pembelajaran mendalam ini. Penggunaan kata “deep” yang diartikan “mendalam” itu sebenarnya seperti apa dan mendalamnya sampai di mana? Mendalamnya hanya di peserta didik atau juga harus pada gurunya?

Pada bagian pertama dari 3 (tiga) tulisan ini, penulis ingin mencoba mangajak para budiman untuk berbagi pemahaman tentang deep learning. Pertanyaan yang dimunculkan pada sub judul tulisan ini semoga kita dapat menjawabnya bersama-sama sebagai bagian dari upaya menggemakan suara beduk yang telah ditabuh. Mendalamnya di mana? Pertanyaan ini enteng dan sederhana yang muncul spontan ketika para guru mulai membicarakan pembelajaran mendalam. Penulis juga ingin menyumbangkan sebuah hasil pemikiran bahwa untuk bisa melaksanakan pembelajaran mendalam maka seorang guru terlebih dahulu harus melakukan perenungan tentang tugasnya sebagai guru. Kita sudah kepalang basah memilih jalan profesi sebagai guru. Artinya, bahwa selanjutnya hampir separuh dari usia yang tersisa akan kita habiskan menjalani profesi ini. Akankah kita main-main atau akan menggelutinya dengan serius sebagai bagian dari jalan hidup?

Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan menjadi guru maka negara akan memiliki kewajiban untuk memenuhi hak yang terikut pada profesi. Tetapi, menjadi guru tidak hanya sampai pada hak dan kewajiban. Di sekolah, kita berhadapan dengan peserta didik yang dititipkan oleh orang tuanya untuk kita bina. Konsep-konsep pembelajaran yang disampaikan pada hakikatnya itu hanya sebagai alat untuk kita dapat berkomunikasi dengan mereka. Membangun karakter positif, membina akhlak mulia dan upaya membiasakan peserta didik pada perilaku yang baik adalah kewajiban yang jauh lebih penting. Jika sudah dikaitkan dengan hal-hal seperti ini maka perenungan kita sebagai guru akan semakin jauh ke depan. Deep learning dengan tiga pilarnya tidak hanya diarahkan kepada peserta didik tetapi terlebih dahulu diarahkan ke diri kita sebagai guru. Layaknya cermin, kita harus berdiri di depannya sehingga kita mengetahui apa yang seharusnya diperbaiki pada cara kita tersenyum dan berpakaian. Karena jika kita berdiri di belakang cermin maka tentu saja cermin itu justru akan menghalangi pandangan kita ke depan.

Berkesadaran (mindful) hakikatnya adalah perenungan akan tanggung jawab. Profesi yang kita jalani saat ini sangat berhubungan dengan kedisiplinan dalam menjalankan tugas. Contoh yang paling sederhana adalah bahwa di sekolah setiap guru telah memiliki jadwal masing-masing dan wajib berada di kelas sesuai jadwal tersebut selama tidak ada uzur. Sudahkah kita berada pada posisi ini, kalau tidak maka ini hal yang harus diperbaiki. Sadar akan tanggung jawab adalah sebuah keniscayaan untuk dimiliki oleh seorang guru sebelum menerapkan mindful learning dalam proses pembelajarannya. Lebih dari sekedar pelaksanaan tugas pokok maka yang lebih penting adalah bahwa setiap langkah kita sebagai guru itu akan disorot oleh orang-orang di sekitar. Dalam pikirannya, orang-orang akan melihat seorang guru sebagai “teladan”, di depan peserta didik apa lagi. Bagaimana mungkin kita akan mengajarkan kedisiplinan, perilaku dan akhlak yang terpuji kepada peserta didik ketika kita tidak dapat memperlihatkannya. Bobbi dePorter menuliskan “jika kita menginginkan sesuatu dilakukan oleh peserta didik maka lakukanlah di depannya”. Dengan keteladanan maka kita dapat membangun hubungan, memperbaiki kredibilitas dan meningkatkan pengaruh. Apa yang kita perlihatkan akan memiliki pengaruh yang jauh lebih kuat dari pada apa yang kita katakan. Energi yang dihasilkan dari sebuah keteladanan itu sangat dahsyat untuk dapat menembus “long memory” peserta didik. Semoga kita memiliki pemikiran yang sama bahwa ketika seorang anak membaca buku mata pelajaran, maka yang terbayang oleh mereka adalah wajah, tindakan dan gaya dari guru yang mengajarkan mata pelajaran tersebut. Bahkan dapat dikatakan bahwa ketertarikan seorang anak kepada sebuah mata pelajaran itu sangat ditentukan oleh daya tarik dari guru yang mengajarnya. Satu hal lagi, bahwa kedalaman penghayatan terhdap tanggung jawab pendidikan di pundak tidak selesai setelah kita melaksanakan tugas tetapi jauh lebih dari itu kita harus mampu menjawab pertanyaan tentang tugas yang kita laksanakan. Satu kata yang dapat diamalkan oleh peserta didik selama hidupnya maka selama itu pula kita akan mendapatkan ganjaran pahala yang berlipat ganda. Demikian sebaliknya!

Menggembirakan (joyful) hakikatnya adalah kesukaan kita pada profesi. Apakah kita senang dengan tugas mengajar, atau ini justru menjadi rutinitas yang membosankan? Mari kita nikmati tugas ini sebagai sesuatu yang menyenangkan diri. Hadirkan rasa rindu pada tugas dan kepada peserta didik dengan rancangan yang setiap saat dapat divariasikan. Buang segala rasa jenuh sehingga bertemu dengan peserta didik di kelas adalah sebuah “healing” yang menyenangkan. Mendramatisasi pertemuan dan sikap di hadapan peserta didik adalah sebuah strategi yang harus dapat dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan keinginan dan motivasi, terutama motivasi pada diri sendiri. Jadi tidak hanya berusaha dan puas setelah melaksanakan semua prosedur yang telah dirancang sedemikian rupa dalam pembelajaran. Tetapi dalam prosedur tersebut harus tersimpan target dalam bentuk pembiasaan yang ingin kita capai. Kita tidak terlena setelah berhasil melaksanakan pembelajaran yang menyenangkan tetapi kegembiraan yang terbangun adalah keriangan bersama antara guru dan peserta didik. Menyampaikan cerita-cerita inspiratif apalagi berasal dari pengalaman hidup pribadi justru akan lebih mampu menyimpan pesan dalam memori peserta didik. Dengan menceritakan pengalaman maka hal ini juga akan semakin memotivasi dan menguatkan “kesukaan” diri kita pada profesi yang kita geluti saat ini. Jika hal ini dapat terjadi di kelas pembelajaran, maka hal ini bahkan dapat mengubah perilaku negative menjadi positif. Yakinlah bahwa ketika kita melakukan pekerjaan yang disenangi maka kita akan terus berusaha memperbaiki perencanaannya, bersungguh-sungguh dalam pelaksanaannya dan terus berupaya untuk meningkatkan hasilnya.

Bermakna (meaningful) hakikatnya adalah ketika guru tidak hanya terpaku pada materi apa yang akan diajarkan. Tidak puas hanya ketika peserta didik sudah mampu menjawab pertanyaan dari asesmen yang diberikan. Tetapi apakah setiap pertemuan telah meninggalkan kesan pada peserta didik. Apakah kesan yang positif saja, maka penulis berani mengatakan bahwa kesan “negative” pun menjadi halal karena dengan itu maka peserta didik paling tidak sudah dapat mengingat guru yang telah masuk ke kelasnya. Filosopinya adalah bahwa jika seorang anak mengingat orang yang pernah bertemu dengannya maka dalam memorinya telah tersimpan apa yang telah dikatakan atau dilakukan oleh orang tersebut. Kita juga harus mampu merasakan (naluriah) bahwa pertemuan yang telah dilakukan juga meninggalkan kesan pada diri. Dari sebuah pertemuan dengan peserta didik, adakah manfaat yang diperoleh baik pada peserta didik maupun diri sendiri. Atau pertemuan yang terjadi hanya berlangsung sebagai rutinitas untuk hanya sekedar memenuhi jadwal mengajar. Jika peserta didik mendapatkan manfaat dari setiap pertemuan maka hal itu akan tergambar pada bagaimana sikap anak tersebut mengikuti proses pembelajaran. Manfaat yang dirasakan ini adalah kesan yang akan meninggalkan jejak yang terasa atau terpikirkan. Kesan yang tercipta sekaligus juag akan berfungsi sebagai “cermin” untuk kita melakukan refleksi diri. Hal ini sangat penting agar kita dapat melihat di mana kelemahan kita dan apakah memiliki keberanian untuk mengakui kelemahan tersebut.

Pembelajaran Mendalam harus dimulai dari mengenal diri kita sebagai guru. Jika kita dapat melakukan perenungan akan tugas dan tanggung jawab dengan segala konsekuensinya, maka merancang pembelajaran mendalam (deep learning) akan dapat kita lakukan. Konsep yang paling prinsip adalah “ibda’ binafsika tsumma bighairika”; mulailah dari diri sendiri kemudian yang lain. 3 (tiga) pilar pembelajaran mendalam harus diarahkan ke diri sendiri dulu. Sadar akan diri sebagai guru, suka terhadap segala tugas dan tidak hanya sekedar memburu ketercapaian konsep harus menjadi sebuah konsistensi. Sebelum kita merancang pembelajaran mendalam untuk peserta didik, maka renungkanlah kesan apa yang akan kita tinggalkan untuk mereka. Kita adalah bagian dari penabuh “beduk” yang harus mengenal dengan baik beduk yang akan kita tabuh. Tentu akan lebih parah lagi jika kita telah mengajak banyak orang bermain beduk sementara kita sendiri masih ragu-ragu dengan tabuhan beduk sendiri. Seperti halnya seorang yang menyatakan diri tidak tersesat sementara ia tidak mengetahui ke arah mana jalan untuk pulang. Wallahu a’lam.

Bait puisi berikut ini semoga dapat membantu kita untuk melakukan perenungan yang lebih mendalam terhadap keputusan kita untuk memilih jalan menjadi guru.

Terlanjur sudah layar terkembang

Di depan kini laut terbentang

Ombak besar akan menghadang

Badaipun mungkin datang menerjang

Pegang kemudi janganlah bimbang

Lewati ombak hindarkan karang

Berkata surut sungguhlah pantang

Karena tekad sudah terpancang

Kukuhkan kompas bila terpasang

Hingga haluan tetaplah lencang

Di depan jalan masihlah panjang

Terus berpacu dalam peluang

Singkirkan sarwa aral perintang

Tarikan layar haruslah kencang

Jangan biarkan bahtera lekang

Demi pendidikan kita berjuang

Facebook Comments
What's Your Reaction?
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Tinggalkan Balasan

Back to top button

Adblock Terdeteksi !

Maaf Matikan dulu Adblock anda