Ketika Cinta Bertasbih
Oleh : Muhammad Sultan (GURU SMAN 5 BULUKUMBA)
Malam itu, rembulan menggantung rendah di langit Makassar. Angin membawa aroma laut yang menenangkan. Aisyah duduk di tepi dermaga, matanya menerawang ke arah gelombang yang berkejaran. Hatinya gelisah. Perasaan yang ia coba sembunyikan selama bertahun-tahun kini memuncak seperti ombak yang menerpa karang.
Di seberang dermaga, Ahmad, seorang pemuda sederhana dengan mimpi besar, menatap Aisyah dari kejauhan. Sejak pertama kali bertemu di acara kajian tiga tahun lalu, ia tahu bahwa hatinya telah terpaut. Namun, keberanian untuk mengungkapkan selalu hilang setiap kali ia mendekat. Ahmad takut jika perasaannya akan mengubah persahabatan indah yang telah mereka bangun.
āAisyahā¦ā suara Ahmad memecah keheningan. Ia berjalan mendekat, membawa dua gelas teh hangat.
Aisyah tersenyum tipis, menerima salah satu gelas itu. āTerima kasih, Ahmad. Malam ini indah sekali, bukan?ā
āIndah, seperti biasanya.ā Ahmad duduk di sampingnya, menjaga jarak yang sopan.
Mereka berbicara tentang banyak hal: mimpi, cita-cita, dan masa depan. Namun, di balik obrolan ringan itu, masing-masing menyembunyikan perasaan yang tak terucapkan. Hingga akhirnya, Ahmad menghela napas panjang.
āAisyah, bolehkah aku bertanya sesuatu?ā
Aisyah mengangguk, menatap Ahmad dengan penuh perhatian.
āJika seseorang mencintaimu dengan tulus, apakah kau akan mempertimbangkan dia?ā
Pertanyaan itu membuat Aisyah terdiam. Ada kehangatan yang menjalar di hatinya, namun ia takut berharap terlalu jauh.
āAkuā¦ tidak tahu, Ahmad. Cinta itu rumit. Tapi jika orang itu mencintaiku karena Allah, mungkin aku akan mempertimbangkannya.ā
Ahmad menunduk, mencoba menyusun keberanian. āKalau begitu, aku ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu. Bukan karena fisikmu, bukan karena duniawimu, tapi karena aku ingin bersamamu di jalan Allah.ā
Aisyah terkejut, namun hatinya tak dapat memungkiri kebahagiaan yang tiba-tiba menyeruak. Namun, ia mencoba menenangkan diri. āAhmad, apa kau yakin? Cinta itu bukan sekadar perasaan. Ia adalah tanggung jawab.ā
āAku yakin, Aisyah. Aku telah mendoakanmu dalam setiap sujudku. Jika Allah mengizinkan, aku ingin menjadikanmu pendamping dalam perjalanan hidup ini.ā
Air mata jatuh di pipi Aisyah. Bukan karena sedih, tetapi karena haru. Selama ini, ia juga memendam perasaan yang sama, namun takut menyuarakannya.
āJika itu niatmu, Ahmad, maka aku hanya akan menjawab dengan istikharah. Jika Allah meridhai, aku akan menerima lamaranmu.ā
Ahmad tersenyum lega. Ia tahu bahwa ini bukan akhir, melainkan awal dari sebuah perjalanan suci.
—
Beberapa bulan kemudian, di sebuah masjid sederhana, Ahmad dan Aisyah mengucapkan janji suci di hadapan keluarga dan sahabat. Langit cerah, seolah ikut merestui kebahagiaan mereka.
Waktu berlalu. Kehidupan keluarga Ahmad dan Aisyah dipenuhi cahaya keimanan. Mereka dikaruniai lima anak yang semuanya tumbuh menjadi penghafal Al-Qurāan.
Farhan, anak sulung mereka, menyelesaikan hafalan Al-Qurāannya pada usia 12 tahun. Ia menjadi teladan bagi adik-adiknya. Hanif, Aina, Zahra, dan Rayyan mengikuti jejaknya, menjadikan rumah mereka penuh lantunan ayat-ayat suci setiap pagi dan malam.
Ahmad dan Aisyah selalu berusaha menanamkan nilai-nilai akhlak mulia dalam setiap langkah anak-anaknya. Mereka mendidik dengan penuh cinta dan kesabaran, menjadikan Al-Qurāan sebagai pedoman dalam setiap keputusan hidup.
Di suatu malam yang tenang, Ahmad berkata kepada Aisyah, āAku selalu bermimpi memiliki keluarga yang mencintai Al-Qurāan. Dan Allah mengabulkan doaku. Bersamamu, aku merasa seperti sedang meniti jalan menuju surga.ā
Aisyah tersenyum, menggenggam tangan suaminya. āAhmad, aku juga bermimpi kita sekeluarga akan dikumpulkan di surga-Nya kelak. Semoga anak-anak kita menjadi penerang di dunia dan akhirat.ā
Dan begitulah, keluarga kecil itu terus berjalan di atas jalan yang diberkahi. Mereka bertasbih bersama, menyempurnakan cinta mereka di bawah naungan ridha Allah, dengan harapan menjadi calon penghuni surga.
Tamat.
Kajang, 31 Desember 2024