Kearifan Lokal Bugis Jadi Benteng Kuat Lawan Gratifikasi
PADA ABAD ke-16 di Bone Provinsi Sulawesi Selatan, seorang cendikiawan yang bernama” Kajao Laliddong, pernah berkata kepada” Raja Bone bahwa, tanda negara yang melemah adalah ketika seorang Raja serakah, Hakim menerima sogokan, dan penduduk saling berselisih.
Pernyataan tadi berhubungan erat dengan penolakan gratifikasi dalam budaya bugis. Mereka mewujudkannya dengan enam hal berikut ini :
“AMMACANG” atau Kecendekiaan, yaitu kemampuan untuk melihat mana yang benar dan salah dalam mengambil keputusan.
“ASITINAJANG” atau Kepatuhan, yaitu mendahulukan kewajiban dahulu baru menuntut hak. Dalam situasi dan konteks profesi abdi negara , asitinajang atau kepatuhan juga berarti tidak mengambil yang bukan haknya.
“AGETTENGENG” atau Keteguhan, yaitu memegang teguh sumpah sebagai abdi negara.
“RESO” atau Keberusahaan, yaitu merupakan semangat bekerja untuk mencari rezeki dari hasil keringat sendiri.
“ALEMPURENG” atau Kejujuran, yaitu jujur sejak dari hati, juga mampu menyuarakan kejujuran tersebut ketika dihadapkan pada gratifikasi ilegal atau tidak syah.
“SIRI” atau Malu, yaitu siri ini menjadi pedoman hidup masyarakat bugis untuk menolak gratifikasi ilegal demi menerapkan kebaikan bagi manusia lain.
Budaya Bugis yang kaya akan nilai-nilai tradisi budaya nenek moyang leluhur mereka sangat tinggi dan mulia kembali menjadi sorotan. Kali ini, kearifan lokal masyarakat bugis terbukti mampu menjadi benteng kuat dalam melawan praktik gratifikasi. Nilai-nilai seperti SIPAKATAU, SIPAKALEBBI, dan MAPPADENDENG yang menjunjung tinggi kejujuran, kesederhanaan, dan gotong royong sejalan dengan semangat anti gratifikasi.
Di era globalisasi saat ini, masyarakat Bugis masih sangat menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi, budaya leluhur mereka. Hal ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari, dimana praktik pemberian dan penerimaan sesuatu yang bersifat gratifikasi masih dianggap tabu, pantangan dan larangan.
Konsep SIPAKATAU yang mengajarkan untuk selalu menempatkan diri pada posisi orang lain, membuat masyarakat Bugis lebih peka terhadap potensi terjadinya tindakan yang merugikan orang banyak.
Nilai-Nilai budaya Bugis ini, sangat relevan dan berguna secara langsung dengan upaya pencegahan KORUPSI. Dengan menanamkan nilai-nilai ini sejak dini, kita dapat membentuk generasi muda yang memiliki keterpaduan integritas dan kebulatan tinggi dan menolak segalah bentuk tindakan yang merugikan masyarakat.
Melihat potensi besar dari kearifan lokal Bugis, para pemangku kepentingan mulai menggiatkan upaya untuk mengintegrasikan dan menyatukan nilai-nilai ini ke dalam pendidikan anti korupsi. Beberapa sekolah di SulSel telah memasukkan materi tentang kearifan lokal Bugis ke dalam kurikulum mereka. Selain itu, sejumlah organisasi masyarakat juga aktif mengadakan berbagai kegiatan sosialisasi dan pelatihan yang mengacu pada nilai-nilai budaya Bugis.
Kami berharap, dengan semakin banyaknya masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai budaya Bugis, praktik gratifikasi dapat semakin ditekan. Ini adalah salah satu cara kita untuk membangun masyarakat yang bersih dan bermartabat. Bagaimana, kolega aksi ? Apakah kalian setuju dengan nilai-nilai anti gratifikasi dalam Budaya Bugis ini??#