Konsep Pemerintahan Masyarakat Hukum Adat Ammatoa

Muhammad Sultan, S.Pd
Dalam konteks sistem politik, komunitas Adat Kajang di Tanah Toa dipimpin oleh seorang disebut Ammatoa dan mereka sangat patuh padanya. Kalau Tanah Toa berarti tanah yang tertua, maka Ammatoa berarti bapak atau pemimpin tertua. Ammatoa memegang tampuk kepemimpinan di Tanah Toa sepanjang hidupnya terhitung sejak dia dinobatkan. Sebabnya proses pemilihan Ammatoa tidak gampang.
Menjadi Ammatoa adalah sesuatu yang tabu di Tanah Toa bila seseorang bercita-cita menjadi Ammatoa. Pasalnya, Ammatoa bukan dipilih oleh rakyat, tetapi seseorang yang diyakini mendapat berkah dari Tu Rie’A’ ra’na. Selain sebagai pemimpin adat. Ammatoa bertugas sebagai penegak hukum sebagaimana dipesankan dalam pasang ri Kajang (pesan di Kajang).
Komunitas adat Kajang menerapkan ketentuan-ketentuan Adat dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam pemanfaatan hutan. Ketentuan adat yang diberlakukan di wilayah adat Ammatoa Kajang diberlakukan kepada seluruh komponen komunitas, tanpa terkecuali ketentuan ini berlandaskan pesan leluhur yang disampaikan secara turun-temurun.
Ketentuan adat ini dipandang sebagai sesuatu yang baku (lebba) diterapkan kepada setiap orang yang telah melakukan penyelenggaraan dalam hal ini diberlakukan sikap tegas (gattang), dalam arti konsekuen dengan aturan dan pelaksanaannya tanpa ada dispensasi, sebagaimana disebutkan dalam pasang yang berbunyi
“Anre nakulle nipinra-pinra punna anu lebba” Artinya : jika sudah menjadi ketentuan, tidak bisa diubah lagi.
Menurut mitologi orang Kajang, ketika manusia belum banyak menghuni bumi, sebutan Ammatoa belum dikenal. Yang ada ialah sanro atau sanro lohe (dukun yang sakti). Sanro lohe bukan hanya sekadar sebagai dukun yang dapat mengobati penyakit, melainkan juga tokoh kepemimpinan dalam upacara ritual keagamaan sekaligus sebagai pemimpin kelompok. Selepas manusia kian ramai dan kebutuhan semakin berkembang sesuai dengan tuntunan zaman, istilah Amma mulai dikenal. Struktur organisasi pun dibentuk dengan pembagian tugas dan fungsi masing-masing
Pembagian kekuasaan ini termaksud dalam pasang ri Kajang : “Amma mana’ ada’.”(Amma melahirkan adat) dan Amma mana’ Karaeng (Amma melahirkan pemerintah).
Ammatoa didampingi dua orang Anrong (ibu) masing-masing Anrongta ri Pangi dan Anrongta ri Bongkina selain itu, dalam sistem pemerintahan tradisional yang berlaku di Kajang Ammatoa juga dibantu oleh Ada’ Lima Karaeng Tallu . Ada’ Lima (ri Loheya dan ri Kaseseya) adalah pembantu Ammatoa yang khusus bertugas mengurusi adat (ada’ pallabaki cidong). Di antaranya, mereka bergelar Galla Puto yang bertugas sebagai juru bicara Ammatoa.
Galla Lombo’ yang bertugas untuk urusan pemerintahan luar dan dalam kawasan (selalu dijabat oleh kepala Desa Tanah Toa). Selain itu ada Galla Kajang yang mengurusi masalah ritual keagamaan, Galla Pantama untuk urusan pertanian, dan Galla Meleleng untuk urusan perikanan.
Setiap pemangku adat mempunyai tugas dan kewenangan berbeda-beda. Sementara Karaeng Tallu bertugas membantu dalam bidang penyelenggaraan pemerintahan (Ada’ tanayya). Karaeng Tallu merupakan tri tunggal dalam pemerintahan, dan dikenal dengan tallukaraeng mingka se’reji. Yang berarti bahwa apabila salah satu di antaranya telah hadir dalam upacara adat, maka Karaeng Tallu sudah dianggap hadir.
Ammatoa adalah orang tertinggi dalam struktur pemerintahan Tanah Toa, keberadaan pemerintah diluar kawasan adat tetap diakui. Bahkan karena dianggap lebih berpendidikan, pemerintah diluar Tanah Toa juga sangat dihormati.
Pemerintah dalam hal ini adalah Camat, Bupati, dan seterusnya. Bukti penghormatan ini terlihat dalam upacara adat atau sebuah pertemuan dimana pejabat pemerintah mendapat Kappara dengan jumlah piring lebih banyak dari Ammatoa, Kappara adalah baki yang berisi sejumlah piring dengan beragam makanan. Dengan Kappara ini pula menunjukkan kedudukan sosial seseorang.
Bila seorang Ammatoa meninggal, majelis adat menunjuk pejabat sementara yang memiliki kualitas yang tidak jauh berbeda dengan Ammatoa. Jabatan sementara dijabat selama tiga tahun. Selepas masa tersebut, tepat pada malam purnama (bangngi kintarang) dilaksanakan appa’runtu pa’ngaro, yaitu upacara ritual anyuru’ borong, memohon petunjuk Tu Rie’A’ra’na untuk memilih Ammatoa yang baru. Para calon Ammatoa ini biasanya harus tahu betul adat istiadat di Tanah Toa.
Selain itu mereka harus bisa menjelaskan asal-usul manusia secara rinci di Tanah Toa sejak yang pertama. Ini tentu saja bukan hal mudah dilakukan dan diyakini masyarakat. Hanya orang tertentu yang bisa melakukannya. Pasalnya, di Tanah Toa, tabu membicarakan asal-usul manusia bahkan tentang keturunan seseorang.
Setiap kali penobatan Ammatoa dilakukan, seekor ayam jantan dilepas. Jika sudah tiba saatnya, atau sudah tiga tahun, para calon dikumpulkan dan ayam yang sudah dilepas saat penobatan terdahulu, di datangkan lagi melalui acara ritual. Dimana ayam bertengger pada seseorang maka dialah yang menjadi Ammatoa. Wajah orang tersebut langsung berubah-ubah dan sangat bercahaya. Setelah itu ayamnya langsung mati.
Demikian sekelumit Konsep Pemerintahan Hukum Adat Ammatoa yang harus dilestarikan agar generasi muda memahami dan mencintai budayanya. Sekaligus menjadi pelangi indah dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.
Kajang, 16022022