Budaya & Sastra

CINTA YANG TERKUBUR OMBAK

Oleh : Muhammad Sultan (Guru SMAN 5 Bulukumba)

Di bawah langit Minangkabau yang mendung, di tanah yang dilingkupi adat dan tradisi, cinta Zainuddin dan Hayati tumbuh seperti pohon di tepi jurang: indah tetapi rapuh, menantang angin nasib yang tak berpihak.

Zainuddin, pemuda keturunan Bugis yang berjuang mencari tempat di tanah kelahiran ayahnya, jatuh cinta pada Hayati, gadis Minang dengan kecantikan dan kelembutan yang memabukkan. Pertemuan mereka sederhana, namun penuh makna—di tepi sawah hijau saat mentari sore menggurat cakrawala. Sejak saat itu, hati mereka saling terpaut dalam diam, meskipun jurang adat telah terlihat sejak awal.

“Zainuddin,” ujar Hayati dengan suara lembut, “aku takut pada cinta yang berani melawan adat. Bagaimana mungkin kita bisa bersama jika dunia tak merestui?”

“Hayati,” jawab Zainuddin tegas, “adakah cinta sejati yang tak harus menantang dunia? Adakah kasih yang tulus harus tunduk pada tembok yang diciptakan manusia?”

Hayati terdiam. Ia tahu hati Zainuddin sekuat batu karang, tetapi ia juga tahu, ombak adat tak pernah bisa dikalahkan.

Hari-hari berlalu, surat-surat penuh puisi menjadi penghubung hati mereka. Zainuddin, yang bercita-cita menjadi penulis besar, menuangkan cintanya ke dalam setiap kata yang ia kirimkan. Namun, di sisi lain, Hayati terhimpit dalam tekanan keluarga yang menginginkannya menikah dengan Aziz, seorang lelaki kaya yang dianggap lebih pantas.

“Hayati,” tulis Zainuddin dalam surat terakhirnya, “jika takdir memisahkan kita, aku akan tetap mencintaimu. Cinta ini bukanlah milik dunia, melainkan milik langit. Jika aku harus pergi, aku akan membawa cinta ini sebagai bekal dalam pengembaraanku.”

Hayati menangis saat membaca surat itu, tetapi ia tak berdaya. Ia akhirnya menikah dengan Aziz, meninggalkan Zainuddin yang hancur dalam sunyi.

Zainuddin pun pergi ke Jakarta, membawa luka dan cita-cita. Di sana, ia menjadi penulis besar, melahirkan karya-karya yang menyentuh hati. Namun, dalam setiap tulisannya, ada bayangan Hayati yang tak pernah hilang. Cintanya tetap hidup, meskipun tubuhnya menjauh dari tanah Minangkabau.

Waktu berlalu, kehidupan Hayati bersama Aziz tidak seindah harapannya. Kekayaan Aziz tak mampu membeli kebahagiaan. Hayati terjebak dalam pernikahan tanpa cinta, sementara Zainuddin menjadi nama yang terus ia sebut dalam doa malamnya.

Akhirnya, nasib mempertemukan mereka kembali di Batavia. Hayati, yang kini menjadi janda setelah Aziz meninggalkannya, datang menemui Zainuddin. Namun, Zainuddin telah berubah—bukan lagi pemuda yang ia kenal, melainkan pria yang hatinya telah keras oleh luka.

“Zainuddin,” kata Hayati, air matanya mengalir deras, “aku datang untuk meminta maaf. Aku telah menyakiti hatimu.”

Zainuddin memandang Hayati dengan tatapan penuh luka. “Hayati, cinta kita adalah bahtera yang karam. Kau telah memilih ombak, dan aku tenggelam dalam gelombangnya.”

Meski cinta mereka tetap hidup dalam hati, Zainuddin memilih untuk tidak mengulang luka yang sama. Ia melepas Hayati, kali ini untuk selamanya, dengan air mata dan doa.

Di akhir hidupnya, Zainuddin menulis satu kalimat dalam buku terakhirnya: “Cinta sejati adalah cinta yang tak meminta balas, tetapi tetap hidup dalam sunyi.”

Cinta mereka terkubur di bawah ombak adat, namun kisahnya hidup selamanya, menjadi pelajaran bahwa cinta sejati tak selalu berakhir bahagia, tetapi selalu bermakna.#

Facebook Comments
What's Your Reaction?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Tinggalkan Balasan

Back to top button

Adblock Terdeteksi !

Maaf Matikan dulu Adblock anda