Puisi Kini : Tarik Tambang Antara Karya Penyair dan Bukan Penyair
Oleh: Badaruddin Amir
Memang aneh jika dikatakan bahwa sekarang ini sedang terjadi sebuah pergelaran tarik tambang antara “penyair” dan “bukan penyair” dalam perebutan klaim untuk menjawab pertanyaan: siapakah pembuat puisi sekarang? Dahulu puisi hanya dicipta oleh seorang penyair atau pujangga, sekarang semua orang dapat membuat dan menerbitkan puisi meski ia tidak berprofesi sebagai penyair atau ia bukan penyair. Demikian, puisi sekarang dapat ditulis oleh siapa saja: guru, dosen, wartawan, pejabat, politisi, buruh pabrik, TKW, ibu-ibu perkumpulan darmawanita, siswa sekolah menengah, dokter, ibu rumah tangga, para tunanetra, dan (jangan-jangan juga) para koruptor. Lepas dari persoalan kualitas karya sastra, kondisi ini di satu sisi tentu boleh disebut menguntungkan: puisi semakin banyak dikenal dan ditulis, semakin banyak diapresiasi.
Motivasi mereka dalam menulis puisi tentu memang bermacam-macam. Ada yang sekadar iseng, ikut-ikutan, mau terkenal dengan cepat, mau tampil beda, ingin mengaktualisasikan sebuah kenangan, ingin membagi kebahagiaan dan ingin membela sebuah prinsip melalui puisi. Puisi jadinya, tidak lagi sekadar ekspresi dari perasaan yang paling dalam (estetika), tidak lagi merupakan peluapan yang spontan dari perasaan-perasaan yang penuh daya, dari emosi atau rasa yang dikumpulkan kembali dalam kedamaian (William Wordsworth), tetapi juga sudah menjadi sebuah alat: alat untuk mencapai tujuan.
Sebagai alat puisi tentu sangat lentur digunakan karena ia terbuat dari kata-kata, boleh jadi juga sebagai alat untuk belajar berkata-kata tanpa ada kekhawatiran akan berbuat salah (ucap) karena puisi memiliki hak istimewa untuk berbuat salah (ucap/tulis), berbuat penyimpangan –dari konvensi yang sudah ada sebelumnya– yang disebut licentia poetica dan licentia logica.
Padahal penyair dengan banyak definisi sejak dahulu sudah dikenal sebagai “orang yang bijak dengan kata-kata dan cara berpikir”. Hanya cara pengungkapannya memang berbeda dengan cara kebanyakan orang. Kata-katanya yang disebut “puisi” sering dipersamakan dengan “sabda”. Bahkan para penyair yang lebih awal yang disebut “pujangga” hampir dipersamakan dengan orang suci (prophet) yang “nyanyian-nyanyian” atau “sabda-sabda”nya selalu didengar dan dikutipi untuk kepentingan berbagai retorika lisan maupun tulisan oleh para penguasa. Tembang-tembang macapat dalam serat “wirid Hidayat Jati” dari R.N. Rangga Warsita (1802-1873) dengan ungkapannya yang sangat terkenal ‘manunggaling kawolo gusti’ bahkan menjadi ajaran kesufian, dan karya buyutnya Yasadipura II (?-1844) yang menulis “Serat Sasanasunu” bahkan dijadikan sebagai kitab Kasunanan Surakarta dan Yasadipura II sendiri menjadi pujangga utama Kasunanan. Di sini kita bisa pula membaca Amenangi zaman Edan dari pujangga kraton Raden Ngabehi Ranggawarsita sebagai berikut :
Amenangi zaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya keduman milik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah kersaning Allah
Begja begjaning kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada
Dalam Bahasa Indonesia kurang lebih artinya :
Menyaksikan zaman edan
Tidaklah mudah untuk dimengerti
Ikut edan tidak sampai hati
Bila tidak ikut
Tidak kebagian harta
Akhirnya kelaparan
Namun kehendak Tuhan
Seberapapun keberuntungan orang yang lupa
Masih untung (bahagia) orang yang (ingat) sadar dan waspada
Kidung Sinom legendaris karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, pujangga besar Keraton Surakarta ini, sering ditembangkan dalam acara macapatan di Pendapa Taman Siswa Ibu Pawiyatan Yogyakarta.
Demikian pula dengan Raja Ali Haji (1808-1873) sebagai pujangga Melayu dengan “Gurindam Dua Belas”-nya:
Ini Gurindam pasal yang pertama:
Barang siapa tiada memegang agama,
Sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.
Barang siapa mengenal yang empat,
Maka ia itulah orang yang ma’rifat
Barang siapa mengenal Allah,
Suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.
Barang siapa mengenal diri,
Maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri.
Barang siapa mengenal dunia,
Tahulah ia barang yang teperdaya.
Barang siapa mengenal akhirat,
Tahulah ia dunia mudarat.
(Gurindan Dua Belas pasal satu, Raja Ali Haji)
Atau pujangga klasik Tiongkok pada masa Dinasti Tang yang terkenal dengan masa keemasan Sastra-Tiongkok tak lepas dari kehadiran pujangga Li Tai Po (701 – 762) dan Thu Fu (712 – 770) dengan nyanyian anggur dan rembulan. Demikian juga dengan kehadiran pujangga-pujangga Yunani klasik seperti Homer (8 SM) dengan “Iliad” dan “Odyssey”, Sophocles (496-406 SM) yang menulis 123 cerita bergenre tragedi seperti seperti “Antigone”, “Oedipus Sang Raja” dan “Electra” yang membuat ‘image’ Yunani identik dengan cerita tragedi. Semua karya-karya dari para pujangga ini mendapat tempat di hati masyarakat, dan penyairnya (pujangga) mendapat perhatian dari para raja dan penguasa pada zamannya.
Sangat istimewa karya klasik dari negeri Bugis berjudul “Meong Mpalo Karellae” yang dianggap sebagai sebuah mitologi. Kanon puitis ini dituturkan dalam pesta panen atau acara turun menanam padi , adalah bagian dari epos terkenal dari tanah Bugis I Lagaligo.
“Meong Mpalo Karellae” bercerita tentang tokoh protagonis yang dideskripsikan sebagai seekor kucing yang setia mengikuti tuannya We Oddang Riu, putri Batara Guru dalam petualangannya sejak turun ke bumi (Pertiwi). Meski digambarkan sebagai seekor kucing, namun Meonglalo Karellae (dalam serat lain disebut juga dengan nama Meongpalo Bolongnge), bukanlah seekor kucing biasa. Ia adalah kucing jelmaan dari ibu susuan (Inannyumparenna) We Oddang Riu, jadi ia memang “pengasuh” sang putri We Oddang Riu. Nama We Oddang Riu memang hanya dikenal pada epos I Lagaligo tetapi dalam petualangannya di epos lain yang masih merupakan bagian dari cerita I Lagaligo, yaitu serat (pau-paunna) “Meonglalo Karellae”, We Oddang Riu telah menggunakan nama lain, yaitu “Sangiasseri” (dikenal sebagai Dewi Padi).
Diceritrakan dalam epos “Meongmpalo Karellae” bahwa dalam pengembaraan itu, mula-mula Sangiangseri dan rombongan tiba di Enrekang, lalu terdampar di Maiwa (Duri), kemudian berturut-turut ke Soppeng, Langkemme, terus ke Kessi, Watu, Lisu, sampai akhirnya tiba di Barru. Perjalanan panjang dari Enrekang sampai ke Lisu ini, penuh dengan tantangan dan penderitaan, sikap dan perlakuan orang-orang yang tidak senonoh. Sang pengawal Meongmpalo Karellae disiksa habis-habisan, mereka kelaparan, kehausan, dan kepanasan menimpanya pada siang hari, dan kedinginan pada malam hari. Diceritrakan di awal epos “Meongmpalo Karellae” sebagai berikut:
Passaleng pannesaengngi
iyanae galigona Meongmpalo karellae
rampe-rampenna cokie
iyanaro napoada
Meongpalo makerek e
iya monrokku ri Tempe
mabbanuaku ri Wage
mauni balanak kuanre
mau bete kulariang
tengngina ku ripassia.
Sabbaraki na malabo
puangku punna bolae.
Natunaimana langi
nateaiya dewata
manai ri rua lette
ri awa peretiwi
kuripaenre ri Soppeng
ku tatteppa ri Bulu
kutatteppa ri Lamuru
pole pasa e puangku
napoleang ceppe-ceppe
kuwalluruna sitta e
dappinna ro battowae
napppekka tonrong bangkung
puangku punna bolae
sala mareppak ulukku
sala tattere coccokku
sala tappessik matakku
mallala majasuloku
kulari tapposo-poso
kulettu’na ri Enrekang
takkadapi ri Maiya
ukutikna dekke nanre
kugareppu buku bale
kurirempek si sakkaleng
kulari mua maccekkeng
ri papenna dapureng ede
napeppek sika pabberung
puakku tomannasue
urek-urek marennikku
sining lappa-lappku.
Upabbalobo manenni
jenne uwae matakku
ulari mangessu-essu
makkipeddikengngi ulukku.
Kularisi makkacuruk riyawa dapureng ede
narorosika ro aju
puakku to mannasue
kumabuang ri tanae
napatitisikka asu
marukka wampang tauwe
orowane makkunrai.
Kularina maccekkeng
ri lebok palungeng ede
napeppesika ronnang alu
puakku pannampu ede
Dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya:
Asal mula yang menjelaskan
kisah Galigo Meongmpalo Karellae
kisah para kucing
itulah yang disampaikan
Meongmpalo yang keramat.
Sewaktu aku tinggal di Tempe
bermukinlah aku di Wage
meskipun (ikan) belanak yang kumakan
meski (ikan) teri kubawa lari
tak pernah aku disepelekan
Sabarlah dan pemurah hatilah
Tuanku pemilik rumah
setelah aku dikutuk langit
dijauhi dewata
terlontarlah aku (bersama tuanku)
ke bumi pertiwi
aku dinaikkan di Soppeng
aku terdampat di Bulu
aku terdampar di Lamuru
saat tuanku dari pasar
membawa (ikan) ceppe-ceppe
aku mendekat menyikatnya
yang lebih kecil dari yang paling besar
kudipukul dengan pangkal parang
oleh tuanku yang punya rumah
hampir pecah batok kepalaku
hampir tercecer otakku
hampir keluar biji mataku
menyalah pengelihatanku
larilah aku terseot-seot
dan sampailah aku di Enrekang
tibalah aku di Maiya
kukutip kerak nasi
kuremuk tulang ikan
kudilempar Sakkaleng
kulari bertengger
di papan dapur
kudipukul lagi peniup api
oleh tuanku yang sedang memasak
semua urat-urat kecilku
semua persendian tulangku
memeras seluruh
air mataku
kulari memeram duka
membawa pusing di kepalaku
kulari sembunyi di bawah dapur
kudiusir dengan kayu
oleh tuanku yang sedang memasak
akupun jatuh ke tanah
akupun dikejar anjing
ributlah kampung bukan main
laki-bini berdatangan mengejar
akupun lari bertengger
di di atas sebuah lesung
akupun dipukul dengan alu
oleh tuanku yang sedang menumbuk padi
Puisi-puisi yang mengandung nilai magis seperti ini memang tak lagi dapat kita temukan sekarang ini. Kondisi puisi modern tentunya sangat beda dengan puisi klasik di zaman pujangga lama. Meski demikian pada kepenyairan Indonesia selepas perang sesungguhnya masih ditemukan hal-hal yang bersfat profetik. Hanya saja budaya mitis tak lagi mewarnai karya-karya mereka. Di sana sudah ada jarak ontologis untuk memandang sebuah persoalan profetik dalam puisi. Puisi tidak lagi dianggap sebagai “sabda-sabda” yang agung dan penyair tak lagi dianggap sebagai orang suci (prophet) tetapi “sabda-sabda” penyair yang bernilai agung, yang bernilai kebijakan ataupun kebajikan dan dianggap sebagai kata-kata yang memberi motivasi masih juga sering dikutipi dalam berbagai retorika lisan atau tulisan. Kita masih mengenal kata-kata puisi seperti “Bung, Ajo, Bung!” (Chairil Anwar), “Hanya ada satu kata’lawan!’” (Wiji Thukul), “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana… (Sapardi Djoko Damono), sampai kepada puisi Taufik Ismail yang baru saja dipalagiat oleh seseorang dan dimuat di media nasional karena terkenalnya, “Dengan Puisi Aku“, tetapi kata-kata yang seperti itu sekarang hampir tak kita dapatkan lagi pada puisi-puisi terkini.
Dulu adagiun yang terkenal dan sering dikutipi sebagai “apologi” pada wacana puisi adalah kata-kata Chairil Anwar yang diungkapkannya dalam wawancara dengan radio Belanda : “yang bukan penyair, tidak ambil bagian !”. Para pengajar sastra di sekolah pun seolah-olah menerima adagiun tersebut begitu saja dan mengamininya. Guru-guru yang mengajar puisi tidak berani membuat puisi sendiri sebagai contoh kepada murid-muridnya karena takut melakukan “penyimpangan”. Contoh-contoh dalam pembelajaran puisi maupun sebagai bahan lomba baca puisi antar siswa pun hanya dikutipi dari puisi-puisi para penyair terkenal seperti “Aku” dan “Karawang-Bekasi” karya Chairil Anwar, “Pahlawan Tak Dikenal” karya Toto Sudarto Bachtiar, “Rakyat” karya Hartojo Andangdjaja, “Gadis Peminta-Minta” dan “Pahlawan Tak Dikenal” karya Toto Sudarto Bachtiar, “Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang” karya WS. Rendra. Itulah puisi-puisi yang dikenal dan terkenal sebagai karya para “penyair” masa itu. Selain puisi-puisi itu para guru menjadi ragu untuk memilih puisi-puisi, apalagi jika puisi-puisi itu dibuat oleh orang-orang yang dalam tanda petik “bukan penyair”.
Tetapi pada perkembangan selanjutnya, di kalangan penyair sendiri pada penghujung tahun 1971, mulai concern dengan keadaan itu. Mereka menganggap keadaan itu telah membunuh kreativitas sastra, khususnya puisi. Maka lahirlah “pemberontakan estetika” yang mencoba memahami bahwa puisi dapat saja dibuat tidak dengan tujuan serius. Puisi tidak hanya boleh ditulis dengan tema-tema besar seperti perjuangan, kehidupan sosial, prophert atau hal-hal yang bersifat nubuat dan kenabian, tapi juga hal-hal yang bersifat ringan, main-main atau bahkan hal-hal yang bersifat iseng belaka. Puisi “Mbeling” yang komandani oleh pelukis Jeihan dan Remy Silado boleh disebut bentuk “pemberontakan” dari adagiun “yang bukan penyair tidak ambil bagian”. Pemberontakan ini menggambarkan pada kita bagaimana seni, khususnya puisi diterima dan dimaknai di tanah air, sekaligus membuat kita memahami keberagaman makna puisi
Puncak dari keberagaman makna yang ditunjukkan puisi ini terjadi setelah kehadiran media sosial seperti facebook dan sebangsanya sebagai wahana untuk menuangkan ekspresi puitik. Tiap orang baik penyair maupun yang bukan penyair boleh menulis puisi pada media sosial tanpa halangan. Adagiun yang pernah dilontarkan Chairil Anwar pun benjadi terbalik : yang bukan penyair boleh ambil bagian ! Fenomena ini bisa dilihat pada terbitnya ratusan atau mungkin ribuah antologi puisi yang digagas oleh berbagai kalangan, yang melibatkan penyair maupun yang bukan penyair sebagai penulis puisi. Tarik tambang pun terjadi antara karya penyair dan bukan penyair. Tapi yang tarik tambang itu bukan orangnya, melainkan kualitas karyanya untuk disebut puisi !
Barru, 2020
(Puisi Kini: Tarik Tambang Antara Karya Penyair dan Bukan Penyari, dimuat edisi cetak Majalah DUNIA PENDIDIKAN, nomor 250 bulan Agustus 2020)