Jejak Takwa di Aliran Sungai: Kisah Cinta yang Berbuah Berkah

Oleh: Muhammad Sultan (Guru SMAN 5 Bulukumba)
Di sebuah senja yang temaram, seorang pemuda bernama Idris bin al-Abbas tengah berjalan menyusuri tepi sungai yang berkilau, mencari ketenangan dalam riuhnya kehidupan. Ia adalah sosok sederhana, namun ketakwaannya menjulang setinggi langit. Dalam langkahnya, rasa lapar mulai menyapa tubuh yang telah seharian dipinjam tenaga.
Di antara gemericik air, sebuah apel merah mengapung perlahan, seolah semesta sengaja mengantarkannya kepada Idris. Dengan tangan yang ragu, ia meraih buah itu dan memakannya, satu gigitan demi gigitan, hingga rasa laparnya lenyap. Namun, belum habis kenikmatan itu ia syukuri, kesadarannya mengguncang jiwa.

“Apakah ini halal bagiku?” pikirnya. Hatinya terusik, bagaikan gelombang yang menghantam karang. Baginya, setiap butir makanan yang masuk ke dalam tubuh adalah amanah yang harus dijaga kehalalannya. Maka, tanpa menunggu waktu, ia memutuskan untuk mencari pemilik apel itu demi meluruskan yang bengkok dan menghapus rasa bersalahnya.
Langkah yang Menebus
Ia menyusuri sungai, mengikuti alirannya seperti seseorang yang mencari jejak takdir. Hingga akhirnya, di kejauhan, ia melihat sebuah kebun apel yang rindang. Ia mendekat dengan hati yang penuh penyesalan, lalu mengetuk pintu rumah kecil di tepi kebun itu.
Seorang lelaki tua membuka pintu. Rambutnya putih seperti awan, namun wajahnya memancarkan kebijaksanaan yang dalam. Dengan suara yang lirih namun tegas, Idris berkata, “Wahai Tuan, aku adalah seorang pemuda yang lemah, telah memakan sebuah apel yang hanyut di sungai tanpa tahu siapa pemiliknya. Kini aku datang untuk meminta izinmu, agar engkau menghalalkan apa yang telah aku konsumsi.”
Lelaki tua itu menatap Idris lama, seolah mencari kebenaran di balik tutur katanya. Ia pun berkata, “Aku akan menghalalkan apa yang kau makan, namun dengan satu syarat: kau harus bekerja di kebunku untuk menebusnya.”
Tanpa ragu, Idris menyanggupi syarat itu. Baginya, tak ada pengorbanan yang terlalu berat demi membersihkan dirinya dari apa yang haram. Hari-hari ia lalui di kebun itu, bekerja dengan penuh dedikasi dan keikhlasan, hingga lelaki tua itu akhirnya merasa cukup.
Ujian Ketundukan
Namun, sebelum menghalalkan apel itu, lelaki tua memberikan syarat lain yang jauh lebih berat. “Aku ingin kau menikahi putriku,” katanya. “Namun, ketahuilah, ia buta, tuli, bisu, dan lumpuh.”
Hati Idris bergetar. Ia termenung sejenak, lalu dengan keikhlasan yang tak tergoyahkan, ia menjawab, “Jika itu syaratmu, maka aku terima. Aku percaya apa yang kau titahkan mengandung kebaikan.”
Keindahan di Balik Ujian
Hari pernikahan tiba. Idris memasuki kamar pengantin dengan langkah penuh kehati-hatian. Namun, yang ia temui adalah sosok perempuan yang bertolak belakang dari apa yang ia bayangkan. Ia melihat seorang wanita yang wajahnya bercahaya seperti purnama, dengan senyum yang lembut dan anggun.
Idris tercengang. Ia pun kembali kepada lelaki tua itu dan berkata, “Wahai Tuan, engkau berkata bahwa ia buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Namun, aku tidak melihat kekurangan apa pun pada dirinya.”
Lelaki tua itu tersenyum dan menjelaskan, “Wahai anak muda, ia buta karena tidak pernah melihat hal yang haram. Ia tuli karena tidak pernah mendengar sesuatu yang batil. Ia bisu karena tidak pernah mengucapkan dusta. Dan ia lumpuh karena tidak pernah melangkahkan kaki menuju dosa.”
Idris terdiam, hatinya penuh rasa syukur. Dari pernikahan itu, lahirlah seorang anak yang kelak menjadi ulama besar, penegak syariat, dan lentera bagi umat: Imam Syafi’i.
Jejak Hikmah
Kisah ini memahatkan pelajaran yang agung: bahwa ketakwaan adalah puncak dari segala kebajikan, dan keikhlasan dalam menebus kesalahan adalah jalan menuju kemuliaan. Idris bin al-Abbas, dengan langkah kecil yang ia pilih, telah menyalakan api keberkahan yang tak pernah padam.#