Ali bin Abi Thalib: Cahaya Abadi di Naungan Risalah

Oleh : Muhammad Sultan (Guru SMAN 5 Bulukumba)
Di malam yang berselimut sunyi, ketika gugusan bintang memahat peta langit, seorang pemuda dengan jiwa sebening embun duduk di hadapan Rasulullah Saw. Dialah Ali bin Abi Thalib, sepupu yang menjadi bayangan, murid yang menjelma pelita. Ia tumbuh seperti tunas dalam taman hikmah, meresapi setiap hembusan kasih dan cahaya kenabian.
Ketika wahyu pertama turun, Ali adalah bara kecil yang segera menyala menjadi api keyakinan. Pada suatu malam, ia mendengar alunan doa Rasulullah yang merasuk ke celah-celah malam, meruntuhkan keheningan dengan harmoni tauhid. Hatinya bergetar, matanya terpaku pada sang pembawa cahaya. Di usia belia, Ali mengucapkan kalimat agung, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan engkau adalah utusan-Nya.”

Rasulullah tersenyum, senyumnya seperti bulan yang menerangi malam pekat. “Wahai Ali,” ucap beliau lembut, “Engkau adalah bintang pertama yang bersinar di langit keimanan. Kelak, engkau akan menjadi pedang yang menebas gelapnya kebatilan.”
Di Tengah Maut yang Mengintai
Ketika kaum Quraisy merangkai rencana busuk bagai duri dalam sekam, Ali berdiri tegak seperti gunung yang menantang badai. Pada malam hijrah yang penuh rahasia, dalam keheningan yang menggelapkan setiap sudut Makkah, Rasulullah memutuskan untuk meninggalkan rumah mereka. Para pemburu maut Quraisy mengintai, menunggu detik-detik terakhir untuk menyambar nyawa sang Nabi. Namun, Ali, dengan keberanian yang membara, bersedia menanggung risiko besar.
Di bawah langit yang penuh dengan kilatan petir ancaman, Ali menggantikan posisi Rasulullah di pembaringan, menjadi perisai hidup bagi sang pembawa wahyu. Dalam hening malam itu, ia tidur di tempat yang seharusnya menjadi makam, dengan nyawa yang terancam seiring dengan setiap langkah musuh yang mendekat. “Wahai Rasulullah, demi Allah, aku serahkan diriku untuk melindungi jejak langkahmu,” kata Ali dengan keberanian yang membakar.
Rasulullah memandangnya dengan tatapan yang dalam, penuh makna, seolah berbisik kepada langit, “Ya Allah, lindungilah Ali sebagaimana ia melindungi cahaya-Mu.” Keberanian Ali saat itu adalah pijar api yang menyinari malam kelam, menjaga warisan kenabian tetap hidup di tengah gelapnya ancaman. Dalam dekapan maut yang menggantung di atas kepala, Ali tetap tegar, dan malam itu menjadi bukti kesetiaan yang tak tergoyahkan.
Di medan Pertempuran dan Kehidupan
Dalam setiap pertempuran, Ali adalah singa di medan laga, pedang yang menyala dengan nama Allah. Dalam Perang Khandaq, ia melangkah maju menghadapi Amr bin Abdu Wudd, seorang pejuang yang menggenggam maut di tangannya. Dengan keberanian yang memancar bagai kilat, Ali menebaskan pedangnya dan menumbangkan sang raksasa. Rasulullah berseru, “Demi Allah, tebasan Ali hari ini lebih berat daripada ibadah umatku hingga hari kiamat.”
Namun, Ali bukan hanya singa di medan perang. Ia adalah aliran sungai kelembutan, cermin hikmah, dan ladang cinta. Ketika menikahi Fatimah Az-Zahra, Rasulullah berkata, “Wahai Ali, Fatimah adalah sekeping jiwaku. Jagalah ia sebagaimana aku menjaga dirimu.” Pernikahan itu adalah pertemuan dua cahaya yang bersinar, melahirkan warisan keimanan yang abadi.
Ali adalah penjaga api tauhid yang tak pernah padam. Ia berkata, “Aku adalah bayangan Rasulullah, dan dia adalah mentari yang menerangi langkahku. Ke mana pun ia memandang, aku mengikutinya. Ke mana pun ia berkata, aku mendengarnya.”
Hingga akhir hayat Rasulullah, Ali tetap menjadi pelita yang tak pernah pudar. Saat dunia kehilangan cahaya utama, Ali berdiri dengan air mata mengalir di pipi, “Wahai Rasulullah, kepergianmu adalah malam tanpa rembulan. Namun, aku bersumpah akan menjaga sinarmu, meski dunia ini tenggelam dalam gelap.”
Begitulah kisah Ali bin Abi Thalib, pemuda yang tumbuh di bawah naungan sang Rasul, menjadi bintang yang menerangi langit Islam. Cahaya keberanian dan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya tetap abadi, seperti pelangi yang bertahan di antara hujan dan matahari.
Epilog
Begitulah kisah Ali bin Abi Thalib, yang bukan sekadar sahabat, tetapi juga pelita yang menyinari jalan-jalan gelap umat Islam. Seperti air yang menetes perlahan di batu, keberaniannya, kebijaksanaannya, dan kesetiaannya kepada Rasulullah Saw telah mengukir jejak abadi dalam sejarah. Setiap langkahnya adalah lambaian cahaya yang tak pernah padam, setiap kata-katanya adalah petuah yang tak lekang oleh waktu.
Ali bin Abi Thalib bukan hanya seorang pejuang di medan laga, tetapi juga seorang penyair kebijaksanaan, seorang pemimpin dengan hati yang luhur, dan seorang lelaki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan sepenuh jiwa. Kisah hidupnya adalah pelajaran tentang keberanian yang tulus, tentang cinta yang tak tergoyahkan, dan tentang kesetiaan yang mengatasi segala rintangan.
Meskipun tubuhnya telah lama tiada, cahaya dari setiap tindakannya tetap menerangi jalan kita. Ia mengajarkan bahwa keberanian tidak selalu berarti mengangkat pedang, tetapi juga berani mengikuti kebenaran meski jalan itu penuh dengan onak duri. Dalam setiap langkah hidupnya, Ali telah menunjukkan bahwa cinta sejati kepada Allah dan Rasul-Nya adalah cahaya yang tak akan pernah padam, bahkan ketika dunia menyelimuti dengan kegelapan.
Dan dalam keheningan malam, kita masih bisa mendengar bisikan dari lembutnya langkah Ali: “Jadilah cahaya, sebagaimana aku berusaha menjadi cahaya di sisi Rasulullah.”#