Sri Musdikawati Puisi-Puisi; (Sebuah Pertemuan)
Oleh Andi Wanua Tangke
Sri Musdikawati,
DULU, di kampus Baraya, aku memanggilmu Dika, di saat banyak teman memanggilmu Sri. Aku tak punya alasan banyak mengapa aku memanggilmu dengan sebutan Dika. Pokoknya senang saja. Maafkan aku bila engkau kurang berkenan dengan nama panggilan itu, namun yakinlah aku akan tetap memanggilmu Dika. Sampai kapan pun.
Aku tiba-tiba berpikir. Mengapa engkau memilih aku untuk memberikan “catatan apresiasi” pada buku kumpulan puisimu yang berjudul EKUILIBRIUM. Apakah aku pantas untuk itu? Jangan-jangan engkau salah pilih, Dika? Pertanyaan itu sempat menggelisahkan diriku. Namun sebagai sahabat, sejak tahun 1983 di kampus, akan kucoba menuliskan catatan ringan siapa sesungguhnya engkau yang aku kenal berkaitan dengan kecintaanmu akan karya-karya sastra, khususnya karya puisi.
Tahun 1983 – 1984 adalah tahun-tahun awal masa produktifmu menulis puisi. Waktu itu ada dua surat kabar yang terbit di Makassar sering memuat karya-karya puisimu di rubrik budayanya, yakni Pedoman Rakyat dan Harian FAJAR. Setelah aku mencari puisi-puisi awal kepenyairanmu itu di buku kumpulan puisi ini, ternyata aku tak menemukannya. Kemana itu puisi-puisi orisinilmu, Dika? Sungguh, betapa pentingnya puisi-puisi itu masuk dalam buku ini, tentu sebagai sebuah kesaksian awal kepenyairanmu. Aku duga engkau tak memilikinya lagi puisi-puisi manismu itu. Bila demikian, biarlah puisi-puisi itu hinggap di hati pembacamu. Puisi-puisi itu tidak akan pernah hilang. Dia telanjur tersebar luas, dan tentu saja, telah menjadi santapan nikmat bagi pembaca puisi, masa itu. Ikhlaskan. Telah menjadi saksi sejarah awal kepenyairanmu.
Lantaran tahun-tahun itu aku sudah aktif bekerja sebagai wartawan di Harian FAJAR, aku ingat engkau sering dekat denganku. Tentu kamu ingin menanyakan apakah puisimu telah dimuat. Dan benar, saat itu aku selalu memberimu informasi bila karya puisimu dimuat. Bukan hanya sekadar informai pemuatan, tapi kadang aku simpankan surat kabarnya. Dan menyerahkannya bila kita bertemu di kampus. Aku ingat betapa gembiranya engkau di saat aku menyerahkan korannya yang di dalamnya ada karya puisi terbarumu.
Saat itu semangat berkaryamu luar biasa. Cukup produktif. Engkau tipe mahasiswi, dulu, yang memilih gaya kalem, hampir selalu berpenampilam sabar, tidak ngotot, tapi engkau betapa lincahnya dalam berkarya. Seakan engkau ingin mengatakan biarlah karya yang bicara!
***
Sri Musdikawati,
MEMBACA puisi-puisimu yang terangkum dalam EKUILIBRIUM, tampaknya tidak terlalu berjarak dengan puisi-puisi awalmu, yang lahir pada tahuh 80-an itu. Diksi-diksi manis dengan gaya puisi pendek tetap engkau mempertahankannya, tampaknya. Begitu juga kiasan, metafora, dan kerinduan, yang dulu banyak mewarnai puisi-puisimu, kini masih begitu mudahnya ditemukan dalam buku ini. Aku pun menarik simpulan sekilas bahwa kekuatan Dika ada di situ, di kesederhanaan kata, bukan di diksi yang sulit dipahami. Dan hakikat puisi memang bukan hadir untuk mempersulit pembacanya guna memahami makna yang terkandung di dalamnya. Puisi punya tanggung jawab sosial menjembantani nilai-nilai kehidupan melalui keindahan-keindahan kata. Ibarat sebuah lukisan, kadang tidak dipahami artinya, tapi dapat dinikmati indahnya. Begitulah puisi-puisimu.
Begitu pasihnya engkau menangkap relung-relung kehidupan orang-orang pinggiran. Puisi pertamamu dalam buku ini “Siapa”, melukiskan betapa memiriskannya hatimu melihat panorama kemiskinan yang kali ini Dika mengambil kisah orang tak berdaya sebagai simbol kemiskinan dalam kehidupan ini. Meski dengan nada tanya “siapa”, namun pada hakikatnya engkau berteriak siapa yang peduli mereka. Masih adakah hati yg peka akan kehadiran mereka.
Siapa yang mendengar dentingan kecapi lusuh
Seorang lelaki renta yang duduk
di trotoar menengadah
Mengharapkan recehan menetes
di atas keringatnya
– – – – – – – – – – – – – – – –
Di lain kesempatan engkau tampil merefleksikan kemarahan. Engkau mendengungkan ketidakadilan di negerimu. Dika seakan berhak mewakili jutaan rakyat yang menjerit kerinduan akan rasa keadilan itu. Namun di balik suara sumbangmu itu, engkau menyadari dalam hening yang dalam, bahwa itu semua hanya mimpi. Mimpi yang tak indah, gumammu pada diri sendiri. Begitu parahnya penyakit kronis itu. Tragis.
– – – – – – – – – – – – – – – –
Keadilan bagaikan jeritan di laut lepas
Digulung ombak kemudian tenggelam
– – – – – – – – – – – – – – – –
Keadilan hanyalah sebuah mimpi
Dari kemarahan itu, tiba-tiba Dika datang secara mengejutkan mengetuk sukma terdalam nurani kita. Itulah gayamu, gaya seorang penyair perempuan yang lahir dan tumbuh di Tanah Mandar. Memang kadang mengagetkan. Namun kita pun sadar bahwa Dika–sebagai perempuan yang lemah–tentu tak lepas akan kerinduan-kerinduan dan mimpi-mimpi dalam meniti hidup. Lalu kepada siapa puisi “Jarak” ini engkau ciptakan atau persembahkan? Kita hanya sampai pada sebuah pertanyaan, namun, tentu, hanya Dika yang paham. Puisi terpendeknya ini, berhasil melukiskan estetik akan ketegaran yang mengharukan. Betapa indahnya puisimu ini, Dika.
Malam selalu menyemai mimpi
Jarak tak pernah memenggalmu dalam nafasku
Realisme sosial sangat kental dalam puisi “Entah ke Mana.” Batin penyair digelisahkan oleh keadaan westernisasi yang terus menggerus menjajah anak-anak muda miliki negeri. Begitu menakutkannya penjajahan gaya baru itu, penyair melihatnya jatidiri itu yang membuat kita bangga akan peradaban sebagai bangsa timur–pada hakikatnya–telah hilang. Entah ke mana. Sungguh memiriskan hati kita. Kepekaan penyair menangkap nilai kehilangan warisan leluhur yang sangat berharga itu, tercermin indah dalam puisi ini. Ada kesedihan yang tak berujung bila sampai pada ‘pintu peradaban pun telah luluh.’ Hilang lenyap sudah!
Westernisasi merasuk kini
merusak ruang intelektual
pikiran tak lagi satu
Pintu peradaban pun telah luluh
nilai tak bermakna lagi
generasi muda tak lagi mengenal diri
saat itu kita telah hilang
entah ke mana
Dan kita pun sampai pada puisi “Tentang Mandar.” Kalau Dika banyak melukiskan kepekaan sosialnya akan ketidakharmonisan nilai-nilai hidup, kemiskinan, suara-suara sumbang, kemarahan, kesedihan, kecemasan, dan kereligiusan akan Ketuhanan, kali ini pada puisi Mandar, izinkalah dia mengungkapkan isi hatinya yang sedang berbunga-bunga memandang suasana tanah kelahirannya yang menumbuhkan semangat hidupnya untuk menggapai cita-citanya.
Mandar kulabuhkan cintaku di tepian
Sungai Tinanbung
Di antara deburan ombak pantai Karma
yang menggairahkan
Dan gagahnya Sandeq yang siap berlayar
di Pambusuang
dan derasnya air yang mengalir dari Alu
Di antara kearifan lokalmu yang merindu
Mandar kutempatkan aroamu pada tempat
yang paling tinggi
– – – – – – – – – – – – – – – –
– – – – – – – – – – – – – – – –
Kesahajaan perempuan-perempuan Mandar
Adalah magnit yang akan selalu membawaku kembali
Wawasan estetik penyair Dika sungguh menggugah dalam puisinya ini. Ada keharuan kebanggaan yang memanggil-manggil. Ada denyut yang selalu merindu.
Dika, membaca ungkapan kerinduan kejujuranmu akan tanah leluhurmu, membuatku–lelaki yang tak pernah berlama-lama di Tanah Mandar–tiba-tiba menumbuhkan getar keinginanku untuk menjejak di tanahmu, Tanah Mandar.
Terakhir, Sri Musdikawati, engkau penyair yang selalu menawarkan rindu dengan kata-kata sejuk. Jangan biarkan tanahmu, Tanah Mandar, yang sejak dulu dikenal berjejak di nusantara itu, tertidur panjang. Bangunkan dengan puisi-puisi getarmu. Dengungkan ke seantero negeri. Dan–dari jauh–aku menunggunya!
—————————- ANDI WANUA TANGKE, Prosais, tinggal di kota Makassar.